I grew up in this town, my poetry was born between the hill and the river, it took its voice from the rain, and like the timber, it steeped itself in the forests. -Pablo Neruda

Minggu, 29 Mei 2011

Alter Ego


Lungarno Diaz, 23 Oktober
00:00 A.M.

“Happy birthday for yourself, Russo!”
*Memejamkan mata*
“Bahahaha…kamu mengucapkan selamat ulang tahun pada diri sendiri? That’s the funniest thing that I ever know about you, friend!”
“Shut up, Fla! I think that’s not your bussines!”
“So, you’re alone, huh? Jangan disembunyikan terlalu dalam rasa kesendirianmu itu. Contohlah aku, my bro! I have more friends than you…I’m exist! Ketika kamu di Jakarta, yang kamu inginkan hanyalah melarikan diri dari kehidupanmu yang memuakkan itu, isn’t right?”
*Senyum-senyum*
“Jangan sok tahu kamu, Fla! Urus saja urusanmu sendiri!”
“Your bussines is my bussines, dumb-dumb! Let me take your place and I’ll make you more impressive –eh, tapi kamu tidak impresif sama sekali sejak dulu–“
“Fla! Stop talking on my mind! Go away, please!”
“Baiklah…tapi, aku akan ingatkan padamu. Kemarin kita lihat bersama-sama wajah menyenangkan yang haus seks di Via Ghibellina. Maybe you should try her?”
“Enough!!”
Lungarno Diaz, 23 Oktober
10:10 A.M.

“Aku sering bertanya pada diriku pribadi. Dunia inikah yang terlalu sempit atau memang Tuhan tidak mengijinkan aku dan dirinya berpisah jauh? Enam tahun tampaknya aku belum cukup untuk melupakannya. Jakarta sudah jauh dari pandanganku sekarang, tapi apa ini memang konsep Tuhan?”
*geleng-geleng kepala*
“Dunia ini memang sempit, Russo. Kalau saja dihubungkan dengan jari-jemari Tuhan hanya seinchi antara ibu jari dan telunjuk. Dia mungkin tidak menyadari keberadaanmu, tapi kamu melihatnya kemarin di Via Ghibellina memang tanpa diketahuinya. Ini konsep Tuhan yang disebut dengan jodoh.”
“Semudah itukah kamu bilang ini jodoh, Layla?”
“Mudah karena aku kenal Tuhan dan mengetahui petunjuk-petunjuk-Nya.”
“Kalau memang benar dia adalah jodohku, Layla…seharusnya, aku dan dia sudah bersatu sejak dulu. Aku dan dia sudah merefleksikan cinta di setiap perbincangan kami. Aku dan dia tidak terpisahkan dan saling ketergantungan. Aku dan dia terbiasa bersama. Itulah jodoh, Layla! Apakah aku bodoh sehingga mengira aku tidak bisa mendefinisikan arti kata-katamu?”
“Bukan begitu maksudku, Russo! Ini hanya persoalan waktu…tinggal permasalahan waktu…”
“Iya…waktu yang tak pernah kunjung memberiku kesempatan. Sudahlah, Layla…aku rasa cukup untuk hari ini…kamu juga datang sama seperti Fla.”
“Maafkan aku, Russo. Aku hanya mencoba menghiburmu dengan ketenangan yang biasa aku banggakan pada orang-orang.”
“Yaa…thanks a bit!”
Lungarno delle Grazie, 23 Oktober
08:19 P.M.

“Aku tidak pernah menyangka bisa menemuimu di sini, Nadesha. Apa yang aku lakukan dalam kesempatan sekarang ini adalah mencoba menceritakan tentang teman-temanku yang kamu kenal. Fla adalah seorang pria yang keras kepala dan modern. Dia sering bertindak seenaknya dan menganggap dirinya eksis. Dulu, dia adalah ketua geng di sekolahnya. Pengikutnya banyak dan dia sangat dihormati. Tapi, dia menganggap semua perempuan adalah pemuas nafsunya. Aku tidak suka itu. Lain halnya dengan Fla, Layla adalah perempuan yang baik. Dia adalah seorang sahabat untukku karena sering mendengarkan keluh-kesahku. Yang kusuka darinya adalah dia sangat perhatian padaku. Tapi, semakin lama dia menasehatiku, seolah dia ingin menggantikan otakku dengan otaknya. Permainannya adalah mencuci otakku. Beda hal antara Fla dan Layla adalah sifat dan sikapnya, lain pula dengan Igor dan Respati. Yang kukenal tentang Igor, dia tidak banyak bicara, jenius dan menyeramkan. Igor itu adalah pembunuh berdarah dingin dan pemerkosa. Tapi, bagiku, dia hanya sedikit lebih freak dibandingkan Jack The Ripper. Sementara Respati hanyalah seorang anak kecil yang terobsesi untuk melakukan bunuh diri dan sangat temperamental sehingga mudah merusak apapun yang ada di sampingnya. Igor dan Respati hanya akan datang kepadaku ketika aku dalam keadaan tidak sadar.”
(Russo lebih baik kita duduk di kafe dan memesan beberapa tagliata atau ribollita. Aku butuh makan malam.)
“As you wish, Nadesha.”

Ki-Ka : Layla-Igor-Fla


Lungarno della Zecca Vecchia, 23 Oktober
08:58 P.M.

“Nadesha, why we always have the together’s-time? Is that means we’re always collided?”
(Russo…I don’t want to talk about that anymore. Now, please, take your seat and tell me what’re you thinking of. And maybe I’ll help you to fix that’s.)
*memesan ribollita dan panzanella*
“Aku tidak ingin membicarakan apapun yang aku pikirkan kecuali kamu, Nadesha. Sumpah! Ini mengherankan…kalau kamu menyadarinya dan peka terhadapnya! Ini mengherankan!”
(Apanya yang mengherankan?)
“Aku sudah pindah kota enam kali dan keenamnya aku dan kamu selalu bertemu. Beijing, Mecca, Alexandria, Warsaw, Bruges dan terakhir, disinilah kita bertemu. Florence. Apa sekarang kamu menyadarinya? Cukup mengherankan bukan?”
(…)
*diam membisu*
“Aku tidak akan memaksamu untuk menyadarinya…tapi, yang pasti aku bisa bersyukur, kamu tidak ubahnya seperti dulu. Sangat menyenangkan.”
(Bisakah kita tidak melanjutkan pembicaraan ini? Aku mau pulang saja.)
*menunduk sedih dan terisak*
“After our meals served, I’ll take you to your hotel, Nadesha. We’ll have lot of conversations.”
*mengangguk dengan kepala tertunduk*
Via de’ Tornabuoni, 23 Oktober
10:16 P.M.

“Love is talking about moments…and moments will give you a choice.”
(But there’s no choice for you, Russo. I’ve engaged with Arezzo.)
 “Aku juga tahu itu, Nadesha. Tidak usah kamu mengulanginya terus berkali-kali.”
*tersenyum sinis*
(…)
*tersentak kaget dan setengah memekik*
“Hey, apa-apaan kamu, Igor? Lepaskan dia!”
“Try to be nice with someone whose hurted you?”
“Not like this!”
“Sudahlah…nikmati saja apa yang kulakukan untukmu, Russo.”
*terdengar suara pekikan lain yang menandakan suatu peristiwa memalukan*
“ENOUGH, IGOR! ENOUGH!!”
(…)
*menangis pilu*
“IGORR!! STOP IT!! STOP! STOP!”
*air mata mengalir deras di wajah dan tatapan kosong ke arah wajah yang menyesal*
“Now, you’ve had a better life, Russo!”
“I’ll kill you, Igor! I promise to myself! I’LL KILL YOU!!!”
Via de’Tornabuoni, 23 Oktober
11:03 P.M.

“Aku menyesal, Nadesha. Aku sangat menyesal! Aku tidak bisa melindungimu dari Igor…aku hanya seseorang yang lemah dalam segala hal.”
 (…lebih baik kamu pulang sekarang, Russo. Aku tidak mau lagi bertemu denganmu. Sudah cukup mengerti apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku.)
*isak tangis terdengar sesak*
“Aku mencintaimu, Nadesha. Aku sangat mencintaimu…tapi, aku sangat lemah. Aku tidak bisa melindungi diriku maupun dirimu dari Igor. Tapi, sumpah…aku tidak bersekongkol dengannya untuk melakukan hal nista seperti itu.”
 (PULANG KAU!! PULAAANG!!)
*memekik hebat*
“Tapi…”
(I’ll tell you once more! GO AWAY!! GO!!)
*memekik hebat*
Lungarno Diaz, 24 Oktober
00:05 A.M.

“Tuhan…apakah memang aku harus hidup seperti ini? Manusia yang lemah, tidak punya adab dan selalu mengucilkan diri dari lingkungan. Apa aku memang diciptakan untuk menjadi Russo yang sekarang? Sudah dua puluh empat tahun aku hidup…apa aku akan terus seperti ini? Apa aku akan terus menjadi manusia yang lemah, tidak punya adab dan selalu mengucilkan diri dari lingkungan? Apakah aku akan tetap menjadi Russo yang sekarang –yang nista dan tidak memiliki kehormatan di mata Nadesha–? Inikah takdir yang Engkau gariskan untuk seorang Russo? Sekarang aku percaya bahwa takdir tidak bisa dirubah…sekuat apapun kamu mengusahakan perubahan, maka kamu ibarat mendorong Tembok Berlin dengan tangan kosong. Mustahil! Dan kalau begitu, ini waktunya bagiku untuk meninggalkan hidup ini dan berganti menjadi seseorang yang diinginkan Tuhan. Akulah Russo yang lemah, tidak punya adab dan selalu mengucilkan diri dari lingkunga. I have no directions, reasons and friends anymore. I just have mine, Fla, Layla, Igor and Respati.”
*menunduk ke arah sungai Arno yang memanjang di Lungarno Diaz*
Via de’Tornabuoni, 24 Oktober
02:11 P.M.

“Nadesha! Nadesha!”
*setengah terengah-engah*
“Nadesha! Please, let me tell you something! You’ve knew that I have trouble…so, forgive me!”
(We don’t have any topics to discuss and I don’t want to talk with you.)
“But, let me tell you something! Please…this is for the last.”
*terengah-engah dengan pandangan yang penuh harap*
(…)
*diam sejenak dan menghentikan langkah*
“I’ll suicide.”
(What?)
*tersentak kaget dan membelalakkan matanya*
“Jah…aku akan bunuh diri. This is my last and only option.”
(Russo! Jangan kamu pikir dengan mengatakan kebohongan itu aku akan merasa iba padamu kemudian memaafkanmu. Jangan gunakan matamu itu untuk membunuh kesalahanmu yang kemarin! Lupakan saja kalau kamu berharap seperti itu!)
“I’m serious, Nadesha! Kamu pikir mudah melarikan diri dari semua permasalahan yang tidak ada pemecahannya ini? Lagipula Fla, Layla, Igor dan Respati akan ikut bersamaku sehingga tidak mungkin aku sendirian saat nanti.”
*tersenyum*
(…)
*mematung dan menghela nafas panjang*
“I have no more choices, Nadesha. Even you give me another choices, I don’t have anything to say.”
(Kamu tidak sedang membuatku mengasihanimu, bukan? Katakan bahwa semua itu tadi bohong, Russo! Kamu tidak serius untuk bunuh diri, bukan?)
“Aku serius.”
(Russo?)
“…”
*terdiam mematung*
(Russo? Kamu baik-baik saja, kan?)
“Sial! Buat apa kamu datang, Respati?”
“Aku tidak terima kalau ada orang yang meragukan keseriusanmu. Ayo bunuh dirilah!”
“Iya…aku akan melakukannya, tapi setelah ini. Tidak di depannya.”
“Bunuh diri bukan di hadapannya? Lalu, dia tetap meragukan perkataanmu? Seriuslah sedikit! Dia sudah meng-undersetimate-mu, Russo.”
“Shut up! Kamu hanya anak kecil! Diamlah dan terima saja apa yang aku putuskan!”
*berdesis keras*
“Jangan mengesampingkan aku, Russo! Aku memang hanya anak kecil…tapi aku bisa melakukan semua hal melebihi orang sedewasamu!”
“Sudah kukatakan padamu, Respati…terima saja apa yang aku putuskan! Jangan banyak bicara lagi!”
(Russo? Biar aku bawa kamu ke psikiater! Kamu butuh clozapine dosis tinggi.)
“Tidak usah, Nadesha. Sekarang aku mau pergi…”
(Russo…please. Aku tidak bisa membiarkanmu mati…aku maafkan perbuatanmu yang kemarin asal tidak kamu lakukan lagi. Aku tidak bisa melihatmu dan mendapat kabar mengenai kematianmu. Jujur, aku tidak bisa kehilangan teman…)
“Kamu tidak perlu melihatku dan mengetahui kabarku lagi. Biarkan aku menghilang seperti riak yang ditelan ombak pantai. Biarkan aku dan kamu menjadi sejarah kecil di masing-masing kehidupan. Dan…ijinkan aku untuk mencium keningmu untuk terakhir kalinya. Setelah itu, aku tidak akan pernah kembali ke dalam kehidupanmu –Tuhan tidak akan mempertemukanku denganmu lagi–, tidak akan pernah lagi.”
(Sudah diamlah, Russo! Jangan membuat seluruh hidupku dipenuhi rasa bersalah! Sekarang ikut denganku.)
*membelalakkan kedua mata*
“Tidak, Nadesha! Aku tidak akan ikut denganmu. Sudah terlalu lama aku hidup dalam bayangan imajinasi bersamamu. Aku tidak ingin menjalani seratus tahun kehidupanku yang lain dengan kecintaanku padamu. Cintaku akan selalu bertepuk sebelah tangan denganmu.”
(Russo…aku…jujur…aku…)
*tergagap-gagap dan menangis spontan*
“Aku tidak percaya waktu akan menghubungkanku denganmu suatu saat nanti. Aku lebih percaya, Tuhan tidak menakdirkanku untuk hidup bersamamu…Tuhan hanya menakdirkan bahwa aku mencintaimu.”
(…)
*terisak-isak*
“Terima kasih ya, atas semua bantuanmu selama ini. Dan maafkan aku tentang kejadian yang kemarin. Aku sangat mencintaimu…sungguh-sungguh mencintaimu. Bukan Fla atau Igor yang mencintaimu, tapi Russo.”
*mencium kening dan menyeka air mata*
“Love is talking about moments and moments will give you a choice. My choice is to be nothing with you at all.”
*tersenyum penuh makna*

Respati


Lungarno delle Grazie, 24 Oktober
10:23 P.M.

“Aku akan membungkam keeksisanmu, Fla. Lihat ini!”
“Sialan kamu, Russo!!”
“And for you, Layla…I ask you to lay upon the stars with me.”
“Thanks for ask me to do something with you, my saviour.”
“Kamu pikir aku lemah, Igor? Aku akan membunuhmu, jelek! Lihat saja! Kamu akan membayar semua yang kamu lakukan padaku selama ini! Lihat saja!”
“Brengsek kamu, Russo! Aku tidak akan membiarkanmu membunuhku!”
“And this is what you want, Respati. Hope you’ll happy with this.”
“My pleasure to see a death, Russo.”
Via Camillo Cavour, 25 Oktober
02:11 P.M.

Berita ini sudah menyebar ke seluruh Florence. Seseorang tenggelam di sungai Arno malam lalu. Saksi mata melihat bahwa pria itu bunuh diri dengan menenggelamkan dirinya ke sungai Arno. Koran-koran lokal memberitakannya dengan bahasa literasi yang berbumbu-bumbu dugaan. Dilihat dari kartu identitasnya, korban bunuh diri bernama Dennis Carusso Indravata asal Indonesia. Sejujurnya, Nadesha tidak ingin melihat dan mendengar berita ini, tapi topik hangat seluruh berita baik di media cetak maupun media elektronik selalu memberitakannya. Untuk mengusir rasa bersalah dan keingintahuannya, dia menelepon tunangannya, Arezzo.
“Arezzo…I need you to help my mind. I think I’m in love with Russo…”

“It just about time, Russo. I’ve told you everydays, Russo. It should be yours, Russo. I’ve told you…”
–Layla–

Tidak ada komentar:

Posting Komentar