I grew up in this town, my poetry was born between the hill and the river, it took its voice from the rain, and like the timber, it steeped itself in the forests. -Pablo Neruda

Rabu, 08 Juni 2011

A Piece of Trevi


            Mencakar langit gelap dan merobeknya cepat-cepat; itu harapan dari Malam. Filosofi hidup Malam, ingin secepatnya siang. Dia takut gelap. Traumatik berkepanjangan sejak usia bangku SD. Dia pernah berada dalam kegelapan selama hampir delapan jam. Ulah anak-anak usia delapan tahun di Auckland yang masih labil dan penuh keegoisan. Menjadi lebih dewasa karena hal-hal sepele, Malam begitu. Tapi, dia lebih suka berdiri dengan manis disini; di depan etalase toko musik yang memajang grand piano Petrof. Membayangkan dia duduk di kursi putar dan meregangkan jari-jemarinya; menekan tuts-tuts pertama dengan intuisi yang bebas. Membayangkan hasil bunyi tuts-tuts piano yang menggerung-gerung menampilkan wajah Moonlight Sonata. Dia berdiri tegap berada di depan etalase toko musik yang diterangi lampu sorot –tanpa satupun gangguan mengacuhkannya.

Tapi, “Malam !”.

Malam menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Sosok perempuan usia dua puluh tahunan melambaikan tangannya dan berjalan cepat –menghampirinya. Namanya Raine Trevi; dengan tubuh rampingnya –menunjukkan dirinya yang seorang model.

Tinggi badan Trevi sekitar 178 cm; sementara Malam 172 cm –lebih pendek. Perempuan itu berdiri, memandang wajah Malam yang sedikit masam, kedua tangannya dilipat ke belakang tubuhnya dan dia menunjukkan senyuman manisnya. Wajahnya mendekat ke wajah Malam. Paparan senyuman Trevi semakin kentara. Sangat manis dan bersahaja. Trevi adalah salah satu model majalah Belle yang paling disukai editor –senyumnya indah, begitu kata editor majalahya.

“Sudah lama nunggunya ?”.

“Belum. Lima menit yang lalu baru datang.”.

Malam membantu Trevi membawakan sekantung barang belanja. Dia sempat melirik ke arah Trevi dan menghela nafas panjang lega.

Entah kenapa aku merasa sangat beruntung sekali setiap bisa melihatmu di depan sini, Trevi. Aku beruntung sekali bisa setiap saat menikmati wajahmu yang anggun. Aku beruntung sekali bisa setiap malam ditemani minum night coffee denganmu. Aku benar-benar merasa beruntung sekali bisa menyaksikan bintang setiap malam dari kaca jendela kamar tidur kita. Semua terjadi seperti kita tidak dipisahkan jurang perbedaan yang nyata.

“Kenapa bengong ?;

Matanya memandang Malam dengan heran sambil memegang tangan kiri Malam yang bebas dari barang bawaannya.

“Gimana coffeeshop ?”.

Trevi memulai perbincangan ringan antara dirinya dan Malam.

“Bagus. Rating hari ini menanjak. Sampai sore tadi kutinggalkan, sudah ada 58 pengunjung mengisi kuisioner dan penghitungannya lumayan.”.

“Apa yang paling banyak diminta ?”, Trevi merangkul lengan Malam –meskipun terlihat timpang dengan tinggi badan.

“Aku dan kamu.”, Malam menghentikan langkahnya sehingga Trevi ikut berhenti.

Trevi menoleh dan memasang wajah bingung. Rambut panjangnya tergerai indah sepunggung; bergelombang dan hitam. Dari wajahnya, Trevi merasa aneh dengan tindakan Malam. Seolah-olah, Malam ingin memberikan kejutan yang membingungkannya. Malam sendiri sepertinya tampak canggung –setengah mati. Mata Malam berpancar keinginannya menyatakan sesuatu. Malam bertekad merubah kehidupannya. Raut wajah Malam memerah –padahal malam itu malam musim dingin.

“Kenapa kamu jadi diam begitu, sih ?”, Trevi mencoba merayu Malam.

Trevi mendekatkan wajahnya ke wajah Malam –semakin memerah. Harum tubuh Trevi tercium dan membuat mau tidak mau wajah Malam semerah tomat. Dengan penerangan lampu jalan –tepat di atas kepala keduanya, Trevi bisa menyaksikan merah wajah Malam. Hasrat berbuat iseng Trevi muncul begitu saja dan dia memulai serangan kelitik pada Malam agar Malam mengaku. Tawa riang keluar dari mulut Trevi –tapi tidak dengan Malam. Wajahnya mencoba menahan tawa dan ingin seserius mungkin. Malam diam; memandang wajah Trevi dengan sonar kagum; merogoh sakunya untuk mengeluarkan sesuatu; dan berpikir menyusun kata-kata puitis.

Trevi menyadari sesuatu yang serius dari sorot mata Malam –meskipun wajah memerah, Malam tetap berusaha menarik simpul serius di wajahnya.

“Trevi…kamu pernah bilang, kan. Hidup selayaknya penuh kejutan meskipun sudah selama ini.”, Malam diam sejenak.

“So ?”, Trevi mengembangkan senyuman heran –Malam terlalu berbeda malam ini.

“Aku punya kejutan untukmu meskipun kita sudah selama tujuh tahun bersama.”, Malam merogoh semakin dalam saku celananya dan mengeluarkan sekotak merah.

Mata Trevi terbelalak. Dia tahu dan mengerti apa isi di dalam kotak itu. Perempuan mana yang tidak tahu isi dari kotak yang melambangkan ‘Sesuatu-Yang-Berharga’ itu. Perempuan mana pula yang tidak terkejut mendapatkan kotak tersebut dari orang yang paling berharga di hidupnya. Tangan kiri Malam memegang kotak pada bagian bawahnya. Sementara tangan kanan Malam berada di bagian atas –untuk membuka kotak itu dan menunjukkan isinya. Trevi hanya bisa menarik nafas panjang dan menunggu kotak itu terbuka dan menampilkan pemandangan menyilaukan dan mengagumkan.

“ I wish upon tonight to see your smile with this circle on your ring finger…”, Malam membuka penutup kotak tersebut dan menampilkan isinya –cincin perkawinan berwarna keemasan.

“Maukah kamu menikah denganku ?”.

Pada saat yang bersamaan, angin dingin tampak bukan lagi seperti pedang yang menusuk-nusuk. Angin yang berhembus malah menyelimuti mereka dengan kehangatan. Lampu penerangan di atas kepala mereka justru menambah efek romantisme. Ada alunan-alunan orkes jalanan di ujung tikungan beberapa puluh meter dari tempat mereka berdiri yang melantunkan lagu-lagu romantis ala Liszt atau Mozart. Di samping mereka adalah aliran sungai dengan kanal-kanal yang sunyi. Air sungai memantulkan cahaya-cahaya bangunan yang berbaris di pinggirnya. Yang menambah suasana semakin mendalam adalah permainan lampu di Church of Our Lady yang menakjubkan. Barisan toko yang menunjukkan kehebatan Thomas Alfa Edison sebagai penemu lampu pijar juga tampaknya menjamin suasana khidmat. Jadi, suasana lamaran itu sudah sangat mendukung.

“Tapi, kamu…aku…”, Trevi gugup.

Mulutnya terbata-bata –kaku. Matanya mondar-mandir dari wajah Malam, kotak cincin, wajah Malam, kotak cincin, dan seterusnya. Tubuhnya seperti mendapatkan tamparan yang menyegarkan. Trevi menyadari bahwa masih ada yang mengganjal diantara mereka berdua. Agama.

Trevi seorang kristiani dan Malam seorang muslim. Itulah apa yang dimaksud pada awal pernyataan bahwa mereka melakukan suatu hubungan seolah tak pernah ada perbedaan di hidup mereka. Perang keyakinan tampaknya masih menjadi gejolak batin masing-masing. Mereka tidak membayangkan bahwa mereka akan bertahan selama ini –bahkan tanpa disetujui oleh kedua orang tua masing-masing pihak.

“Ya. Aku tahu itu…dan tidak mungkin ada salah satu dari kita yang bisa berpaling. Bahkan untuk mengajakmu saja masuk ke kehidupanku tampak seperti hal yang mustahil. Sama sepertimu mengajakku. Tapi, aku selalu merasakan damai bersamamu. Aku terlalu terbiasa hidup denganmu. Dan mungkin, kamu juga merasakan yang sama. Kita sudah terbiasa hidup bersama-sama, Trevi.”.

Trevi diam. Matanya memandang mata Malam dengan tatapan berkaca-kaca. Haru; Trevi merasakannya. Kecewa; apa mungkin Trevi merasakannya ? Perasaan-perasaan yang menunjukkan kebahagiaan adalah apa yang dirasakan Trevi saat ini. Dia ingin sekali mengenakan cincin itu di jari manisnya. Perempuan mana di dunia ini yang tidak ingin menikah; bahkan seorang workaholic seperti Trevi. Dia masih terdiam, sementara Malam menunggu dalam harap-harap cemas. Keduanya terpaku tepat pada saat salju pertama turun di atas mereka. Malam bersalju pertama di belahan bumi bagian utara Eropa.

            Trevi menyumbang banyak hal dalam hidup Malam. Dia sebagai salah satu muse yang dikirimkan pada Malam. Trevi yang membuat senyuman di wajah Malam selalu berkembang. Malam hampir-hampir tidak bisa menangis karena Trevi. Air mata seolah enggan keluar sekalipun rasa sakit membakarnya. Emosi labil tampak seperti ayunan saja bagi Trevi; mudah dikontrol semaunya –dan gaya itu menular pada Malam. Masa lalu yang kelam bagi Malam dibuyarkan oleh statements Trevi; jangan terlalu sering menoleh ke belakang, jika kita berjalan ke depan. Trevi benar-benar mengontrol emosi Malam; dengan wajahnya, senyumnya, pelukannya. Malam juga akhirnya mengerti bahwa kekagumannya pada Trevi sangat beralasan. Saat Malam memainkan barisan tuts; mengubahnya menjadi nada-nada lembut, atau memainkan kolom enam senar; mengubahnya menjadi petikan-petikan mendayu-dayu, Trevi adalah teman dan rekan sejatinya; menuangkan gesekan empat dawai berjembatan indah ke dalam nada-nada residu yang sengaja ditinggalkan Malam. Paradigma yang muncul di otak orang-orang, Malam berubah seratus delapan puluh derajat karena Trevi mengubah seratus delapan puluh derajat hidupnya. Secara a priori, memang Malam berubah, tapi dia berubah terlalu banyak –hingga Malam tidak mengerti lagi, apa yang sebenarnya dia rasakan pada Trevi. Sebuah ketergantungan atau perasaan yang menyelimuti dengan keindahan. Malam pun jadi kebal dengan perbedaan hakiki yang mencampur dalam hubungannya dengan Trevi. Perbedaan prinsip dan keyakinan yang tidak bisa lagi dikatakan berbeda tipis –perbedaannya terlalu menjurang. Trevi sendiri adalah Katolik yang taat, sementara Malam, meskipun Islam di lidah saja, dia tidak sampai hati menggadaikan agamanya sendiri. Perbedaan inilah yang menjadi alas dasar bagi kedua orang tua dari kedua belah pihak menyatakan bahwa hubungan mereka terlarang. Mereka berdua pun sepakat melarikan diri dari kenyataan dan meninggalkan permusuhan hebat diantara dua keluarga tersebut di Jakarta. Meskipun kesepakatan tersebut diambil, tetaplah perbedaan menjurang itu jadi suatu permasalahan pokok.  Mereka berdua tidak sanggup meninggalkan apa-apa yang sudah absolut mereka yakini.

            Malam memandang kedua bola mata Trevi. Coklat –persis miliknya. Trevi sebaliknya; memandang kedua bola mata Malam; menerka pancaran yang disinarkan keduanya. Mereka berdua masih berdiri terpaku di bawah sinaran lampu jalan dan sudah hampir enam menit empat belas detik mereka terpaku. Hanya satu pikiran di otak keduanya. Malam ingin sekali mendengar jawaban iya. Sementara Trevi ingin sekali memberikan jawaban iya. Tapi, sekali lagi, perbedaan ini begitu mengombang-ambingkan keduanya. Malam memiliki keinginan untuk mendobrak sejarah hidupnya. Dia membuka matanya lebar-lebar dan menginginkan perbedaan yang berposisi dasar itu bukan menjadi alasan hambatan. Malam sudah melakukannya –meskipun masih dengan keraguan menumpuk di otaknya, setidaknya dia sudah mencoba. Sekarang giliran Trevi yang menganalisa jalan hidupnya sendiri. Malam sudah menyerahkan semua jawaban pada Trevi dan Trevi adalah hakim pada malam pertama musim salju di belahan Eropa bagian utara itu.

Dalam doa kami memang berbeda. Aku menyebut-Nya dengan Bapa; kamu menyebut-Nya Allah. Aku mengepalkan kedua tangan seperti ini; kamu membuka kedua tanganmu seperti ini. Aku menunduk dan memejamkan kedua mata –takut menyaksikan-Nya; kamu menengadahkan kepalamu dan membuka kedua mata –berharap menyaksikan-Nya. Aku dalam doa meminta kasih dan mengucap syukur; kamu dalam doa mengisyaratkan cinta, syukur dan permohonan. Apa lagi yang berbeda ?
Dalam ibadah kami juga berbeda. Aku menaungkan diri dalam lindungan Tuhan di dalam gereja; kamu bersujud untuk Allah di bawah kubah masjid. Aku melantunkan doa-doa seindah lantunan para Muse dalam ibadahku; kamu memiliki tata cara beribadah sendiri yang melambangkan suatu kesetiaan indah antara manusia dan Tuhan. Lalu, bagian mana lagi yang berbeda ?
Apakah ajaran kami yang berbeda ?
Baiklah. Kupaparkan perbedaan.
Tuhanku adalah Tuhan Yesus; kamu Allah Subhannawata’ala. Aku melambangkan kesetiaanku dalam bentuk salib; kamu menyimbolkan dirimu sebagai bulan dan bintang. Nabiku menjadi Tuhanku; nabimu bukan tuhanmu, tapi berdiri sebagai utusan Tuhanmu. Kitabku adalah Injil; kamu adalah Al-Qur’an. Rasulku ada dua belas murid Yesus; rasulmu ada dua puluh lima yang dikenal. Mungkin dalam ajaran agamaku tidak mengenal Islam; kamu mengenal dan mengakui keberadaan agamaku sebagai umat Nasrani. Jadi, apakah ini yang menjadi perbedaan mendasar kami ? Haruskah ada pemaksaan keyakinan di dunia ini ? Apakah aku harus Islam untuk bersamamu, Malam ? Ataukah kamu harus Katolik untuk bersamaku, Malam ? Ataukah memang kami salah dan kami harus berpisah karenanya ?

Itulah kalimat yang Trevi ungkapkan pada saat hari persidangan dua keluarga. Dia berurai air mata saat mengungkapkannya. Tangisannya menguak perasaan sebenarnya Trevi pada Malam. Beda mulai menjadi topik. Terlihat perbedaan yang mencolok antara kedua keluarga. Kedua orang tua Trevi yang lebih banyak diam, sedangkan Trevi berkoar; sementara kedua orang tua Malam yang lebih banyak bicara keras, sedangkan Malam lebih banyak mengelus dada dan diam. Berdasarkan hasil persidangan itu, kedua keluarga tetap bersikukuh dengan pendirian mereka. Alhasil, Malam merencanakan suatu pelarian yang dahsyat bersama Trevi. Pada umur sembilan belas tahun, mereka berdua melepaskan seluruh kehidupannya di Jakarta; keluarga, kuliah dan masa depan. Mereka terbang ke kota itu; kota di belahan utara Eropa; kota penuh keindahan kehidupan yang tenang. Mereka hanya bermodalkan uang dalam jumlah lumayan besar dan kenalan Trevi sesama model di majalah Belle, sampai akhirnya enam tahun lebih mereka hidup disana; dengan kehidupan serba baru dan aroma embun sekat perbedaan yang menipis –meskipun akhirnya embun sekat perbedaan itu menebal kembali ketika ikrar janji diminta disebutkan.

            Masih berdiri, Trevi dan Malam; tanpa hasil. Mereka memang bisa berdiri lama tanpa bicara; hanya saling pandang. Mereka sering melakukannya. Menikmati keindahan masing-masing dengan sentuhan magis bernama sayang. Lama sekali mereka dalam kebisuan. Tidak ada jawaban dari mulut Trevi; tidak ada pula dorongan untuk menjawab dari mulut Malam. Semuanya hanya didasarkan pada pemikiran yang memuncak pada akhirnya, muncul satu putusan dari sang hakim. Ini sudah memakan waktu sepuluh menit lima detik

Ya Allah, bukan pembangkangan yang hamba lakukan ini tanpa pemikiran. Tapi, Kau Maha Pencipta. Dan Kau-lah yang menciptakan rasa sayang pada Trevi selama ini. Kau-lah yang menumbuhkan perasaan ini. Aku harap apa yang kurasakan ini bukanlah hawa nafsu; karena sejujurnya, antara hawa nafsu dan perasaan manusia itu berbeda tipis –setipis selaput membran pada sekat jantung.
 Bapa di surga, Kau memberikan cinta di dasar hati ini tanpa sedikit pun memiliki kesalahan. Apakah memang salah jika aku mencintai Malam ? Jika memang demikian, biarkan aku menorehkan sedikit keyakinanku untuk hidup bersamanya dalam pelukan kasih yang Kau elukan.
 Ya Allah, biarkanlah keputusan ini menjadi murka-Mu padaku. Biarkanlah keputusan ini menjadi titik pertama api jahannam menyentuhku. Aku yang salah pada-Mu; aku yang berdosa pada-Mu; tapi, janganlah libatkan mereka yang berada di luar pemikiranku. Aku tidak percaya dengan hukum karma, tapi aku percaya Kau-lah Maha Berkehendak. Dan aku ikhlas menerima semua putusan-Mu, karena aku tidak ingin mengecewakan Trevi –meskipun harus mengecewakan-Mu dan orang lain.
 Bapa di surga, aku tidaklah lari dari kenyataan. Aku tidaklah menghindari sebuah masalah. Aku juga tidaklah menyingkirkan diri-Mu dari hidupku. Tapi aku hanya mengambil sebuah keputusan yang salah menurut mereka –namun sebuah keputusan yang benar menurutku. Biarkan aku dan Malam berjuang menembus sekat tipis perbedaan sebuah keyakinan tanpa intervensi. Aku ingin bersama Malam; itulah keputusan yang kubuat. Dan pesawat ini akan membawaku ke dalam perubahan besar antara aku dan Malam.
 Aku mohon dengan sangat, Ya Allah. Ampunilah semua dosaku atas semua ini. Ampunilah aku.
 Aku mohon ampunan-Mu, Tuhan.
 Robbana’atina fid dunya khasannah wa fil ‘akhiroti khasanah wa kinna adzabannaar
 Demi Bapa, putra dan Roh Kudus
 Amin yaa robbal ‘alamiin
 Amiin.

Doa itu dilantunkan bersama-sama saat keduanya berada dalam pesawat Lufthansa yang baru lepas landas. Keduanya duduk bersebelahan di kelas ekonomi dengan perasaan was-was. Tangan Trevi dikepal, sementara Malam menggenggam lengan Trevi keras-keras. Doa mereka disudahi dengan tolehan kepala mereka masing-masing; saling memandang dengan senyuman terlekat di wajah mereka. Entah bahagia atau keraguan yang melintas di otak mereka; tapi, yang pasti, mereka berdua berada di ketinggian sepuluh ribu kaki hanya untuk meninggalkan kehidupan di masa lalunya dan tidak akan menoleh lagi ke belakang.

            Benar-benar peristiwa yang memakan waktu lama. Tidak ada jawaban yang meluncur keluar dari mulut Trevi; tambahan, tidak ada pertanyaan lain yang mendorong dari mulut Malam, selama dua belas menit tiga puluh satu detik itu. Mereka berdua benar-benar terpaku di bawah pancaran sinar lampu jalan –tanpa sekalipun mengacuhkan orang-orang yang lalu lalang dan memerhatikan keduanya dengan tatapan heran; kagum; penasaran; dan perasaan lainnya yang menunjukkan ketertarikan mereka. Siapa yang tidak akan tertarik melihat sepasang muda-mudi apalagi berwajah Indonesia-tis, sedang dalam posisi sebuah lamaran. Si laki-laki menunjukkan cincin emas ke hadapan si perempuan dan menunggu jawaban darinya. Sementara si perempuan hanya bisa memandangi laki-laki di hadapannya dengan perasaan bingung; sekaligus takjub. Entah hanya sebuah khayalan atau memang sebenarnya orkes jalanan di ujung jalan itu berpindah tempat ‘main’; tapi, suara gesekan biola dan alunan flute terdengar sangat dekat dan mencacah hati Trevi dan Malam. Mereka berdua semakin tenggelam dalam suasana yang romantis. Hanyut dalam taktik peri cinta. Dan pelan-pelan jatuh melayang di lubang hasrat tak berdasar seorang manusia.

Aku dan Trevi pernah memiliki kesimpulan dalam suatu perbincangan di kafe bandara –ketika kami baru menjejakkan kaki di kota ini. Suasana ketika kami sampai di kota ini; suasana dingin menyambut kami dengan salju turun bergemerlap di luar kafe. Aku memesan Melange Coffee dengan ekstra frothy milk, sementara Trevi memesan Fiaker mocha yang disajikan bersama segelas brandy. Alunan Solo por Ti terdengar mengindahkan arsitektur kafe yang bernuansa Romawi. Suasana sangat menghangatkan pembicaraanku dengan Trevi hingga kami berkesimpulan.
“Tuhan; Allah tidak menciptakan cinta untuk memisahkan kita. Sampai detik kita kehilangan makna tentang nafas, sampai itu pula aku dan kamu akan selalu mencintai. Karena Tuhan; Allah, kita bertemu. Karena Tuhan; Allah, kita saling mencintai. Karena Tuhan; Allah, aku dan kamu saling terbiasa. Karena Tuhan; Allah, aku dan kamu tetap bersama-sama. Karena Tuhan; Allah, kita; aku dan kamu menampikkan usia, hidup mandiri berdua di kota ini –kota di belahan Eropa bagian utara yang mana, mungkin tidak seorang pun di Jakarta mengetahuinya. Kita sekarang berada di kota cinta yang diselimuti kabut tebal setiap bulan Desember. Kita pun ada disini karena dua hal; tekad dan nekat.”

“Kamu lagi gak bercanda, kan, Malam ?”, kebisuan pecah dengan pertanyaan yang dilontarkan Trevi –rupanya waktu yang dimakan hampir lima belas menit itu, masih membuat Trevi bingung.

“Apa aku terlihat seperti sedang bercanda ? ”, Malam balik bertanya.

Trevi dan Malam kembali diselimuti kebisuan sejenak. Pandangan mata mereka tidak berpindah satu sama lainnya. Saling mengagumi dan saling bertanya.

“Sekali lagi, aku mau tanya…maukah kamu menikah denganku ?”.

Trevi masih diam; tidak mau bicara sepatah kata pun. Tampaknya dia ragu dengan ketidakyakinannya.

“Meskipun ada perbedaan yang hakiki diantara kita ?”, Trevi melontarkan pertanyaan balik.

“Ada perbedaan yang bisa kita persatukan dan ada perbedaan yang tidak. Antara kamu dan aku, tidak ada perbedaan yang hakiki. Kita insan yang sama. Son of Adam and Eve.”.

Malam mencoba meyakinkan Trevi; yang diakhiri dengan senyuman manis di sela-sela kebingungannya. Trevi menganggukkan kepalanya sambil menerima kotak yang diberikan Malam. Cincin emas itupun disematkan di jari manis Trevi –menandai perikatan jasmani dan rohani.

Allah menciptakan sebuah layar yang berbeda antara aku dan Trevi. Aku di layar perpotongan antara layar satu dengan lainnya, sementara Trevi berada di layar yang tidak seluruhnya menampilkan wajah manisnya. Dengan jawabannya, sekarang aku dan Trevi berada di layar yang sama. Aku dan Trevi berada di layar ‘Aku dan Trevi’; bukan di layar versiku atau layar versi Trevi. Aku dan Trevi menjadikan semua perbedaan terlihat mudah untuk disatukan. Tapi, dengan perjuangan yang cukup panjang dan memakan sesuatu yang tak bisa diulang; waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar