I grew up in this town, my poetry was born between the hill and the river, it took its voice from the rain, and like the timber, it steeped itself in the forests. -Pablo Neruda

Kamis, 23 Juni 2011

About Moslem in Holly Staatz

“Kepada seluruh umat Muslim di Holly Staatz pada khususnya, serta kepada seluruh umat Muslim di dunia…Aku bangga menjadi Muslim dan aku cinta menjadi Muslim. Apapun yang terjadi pada dunia ini, aku hanya akan mati atas nama Allah. Oleh karenanyalah,  aku akan selalu mengatakan pada semua orang, aku bangga menjadi bagian terkecil dari umat Muslim. Dan namaku pun, Abu Hamzah Paleczny. Aku adalah Muslim Holly Staatz…”

            Seseorang melangkah masuk ke dalam sebuah rumah yang sudah rusak berat dengan bangunan-bangunan setengah hancur. Dinding-dinding runtuh dengan bahan-bahan material berserakan di sekelilingnya. Sisa-sisa itulah yang menjadi saksi bisu atas sebuah penyerbuan sekelompok orang yang menamakan diri sebagai Kelompok Pendukung Kristen Adoreni terhadap perkampungan Muslim kedua terbesar di Holly Staatz itu, St. Raphael. Pemerintah pun tidak bertindak karena memang bukan sebuah larangan bagi orang lain untuk melakukan apapun terhadap penganut agama lain di luar agama tunggal yang menjadi pondasi fundamental negara Holly Staatz, yaitu agama Kristen Adoreni. Orang tersebut berpakaian selayaknya Tentara Kristen Demichelis –sebutan bagi Tentara Gereja, yang biasa mengenakan jaket tebal berwarna merah maroon dan seluruh seragamnya berwarna senada. Pria itu membawakan sebungkus besar makanan dan sebotol besar air mineral. Dia sangat berhati-hati untuk masuk ke dalam rumah tersebut karena gerakan yang salah sedikit saja akan mengakibatkan rumah itu luluh lantak hingga rata dengan tanah. Matanya sangat awas memandang sekelilingnya. Dia waspada dan penuh kedisiplinan tinggi. Dia ingin menyembunyikan seluruh jejak yang ia tinggalkan di belakangnya karena posisinya sangat berbahaya jika terlihat. Meskipun, pangkat yang dikenakan pria itu cukup tinggi, seorang letnan jendral, dia masih memiliki keterikatan yang tidak bisa dicegah lagi terhadap korps militernya. Keterikatan secara moral dan penuh pertanggungjawaban etis atas jabatannya tersebut.

Sesekali dia menengok ke arah bangunan lainnya yang bernasib sama seperti bangunan yang dia masuki. Dia berharap tidak ada seorang pun yang melihatnya masuk ke dalam rumah yang sudah hampir roboh itu. Kakinya melangkah pelan hingga tidak sedikitpun suara ditimbulkan olehnya. Adapun yang bisa menyaksikannya hanyalah angin dingin yang berhembus pada awal musim dingin tahun 1995 di belahan bumi utara.

“Psst…psst…”, pria berjubah militer merah maroon itu mengeluarkan suara berbisik untuk membangunkan sosok tersembunyi di balik sebuah reruntuhan dinding terbesar diantara reruntuhan lainnya.

Perlahan-lahan, reruntuhan dinding itu bergeser dan menampakkan apa yang ada di baliknya. Sebuah ruangan sempit disulap menjadi kamar tidur sekaligus kamar makan. Sebuah tikar digelar di salah satu pojok ruangan dan meja kecil yang membuat siapapun harus duduk lesehan. Pria yang berpakaian seragam merah maroon tebal itu harus sedikit menunduk untuk melewati ‘pintu’ masuk yang tingginya tidak lebih dari satu meter itu. Selain mendapati suasana ruangan sempit yang disulap menjadi kamar persembunyian itu, ada seorang pria lainnya yang berperawakan sangat kurus dan janggut memenuhi seluruh bagian wajahnya yang bisa tumbuh janggut. Meskipun dalam persembunyian, pria itu tidak tampak kusam dan muram –hanya saja, lebih pucat karena belum makan selama tiga hari belakangan ini selain makan roti berjamur yang sudah sebulan tersimpan di salah satu lemari makan yang tertimpa reruntuhan.

“Suapan terakhir ini bisa saja menambah semuanya jadi semakin memburuk, Arthur.”, pria berjanggut tebal itu menunjukkan potongan roti yang sudah berjamur dan menjadi makanannya selama tiga hari belakangan.

Wajahnya sumringah saat membukakan ‘pintu’ reruntuhan tersebut. Pria bernama Arthur Caesar Zyndon itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. Dia membantu pria berjanggut yang merupakan sepupunya itu untuk menutup kembali ‘pintu’ tersebut dengan mendorongnya.

“Tiga hari terakhir, situasi semakin gila. Ayahmu dan kakak-kakakmu menguasai parlemen tunggal. Tampaknya, aku akan semakin jarang ke tempat ini, Franz. Sangat beruntung sekali aku bisa melihatmu masih hidup. Setelah kutinggalkan selama tiga hari…”, Arthur menunjukkan bungkusan makanan yang dibawanya ke arah pria berjanggut itu.

Pria bernama lengkap Franziened Paleczny itu menyambut bungkusan tersebut dengan wajah yang terbelalak penuh kepuasan. Kedua matanya bisa dikatakan ‘ingin’ meloncat keluar dari lubangnya. Nafasnya sangat memburu dan penuh nuansa kelaparan. Arthur memberikan bungkusan itu dan disambut dengan sobekan penuh keliaran pada bungkus itu sehingga delapan buah roti baguette dan satu kantung kecil selai terlempar dari ‘dalam’nya. Empat botol air mineral juga tercecer diantara delapan roti baguette yang terjatuh dan bercampur bersama debu-debu puing bangunan. Franziened Paleczny memungut kedelapan roti itu dengan penuh kecepatan, karena rasa lapar yang sangat membakar perutnya.  Tanpa aba-aba, dia membaca doa singkat lalu memakannya dengan sangat amat lahap. Tidak bisa terbayangkan seberapa laparnya Franziened Paleczny sebelum mendapatkan makanan yang ‘layak’. Yang hanya bisa dilakukannya selama tiga hari belakangan ini adalah memakan roti ciabatta berjamur dan bercampur debu puing-puing bangunan, serta meminum air kotor yang mengalir dari atap atau air kubangan di sekeliling bangunan.

“Apa tidak ada niat untukmu kembali ke rumah, Franz ? Bersembunyi pun sudah tidak bagus lagi buatmu.”, Arthur membantu Franziened Paleczny untuk membuka bungkusan kecil berisi selai stroberi.

“Tidak ada yang bisa kulakukan selain bersembunyi di tanah tempat kelahiranku ini, Arthur.”, Franziened Paleczny bernafas memburu.

Roti baguette yang dimakannya bersama selai stroberi itu berceceran di lantai –apa masih bisa disebut lantai jika hanya puing-puing bangunan ?

“Aku tidak pernah menginginkan hal yang lain, selain lahir dimana aku ditakdirkan, hidup dimana aku lahir dan mati dimana aku hidup.”.

“Tapi, dengan kondisimu yang seperti sekarang, tidakkah kamu butuh orang lain ? Aku tidak bisa lagi melakukan hal seperti ini…terlalu riskan untukku melakukan hal ini.”, Arthur mendadak seperti panik.

“Hahaha…seorang Kristen Adoreni yang takut berbuat kebaikan…kamu cocok sekali dengan sebutan itu.”, Franziened Paleczny mengusap-usap dagunya seraya tersenyum ke arah Arthur yang memucat.

“Bukan berarti aku tidak mau berbuat baik padamu, hanya saja…permasalahan untukmu lebih kompleks dan aku belum berani mengambil risikonya.”,

“Tidak ada sebuah permasalahan yang kompleks dalam hidup manusia…yang ada hanya pikiran kita yang membuatnya sedemikian kompleks hingga kita sendiri takut untuk mengambil risiko yang belum tentu kita temui.”.

Arthur terdiam. Dia berpikir keras untuk mengelak dari jawaban Franziened Paleczny. Sepupu kandungnya itu terlihat seperti ingin menguji diri Arthur –masuk ke dalam alam pemikirannya yang ‘back-to-it’s-source’. Semua masalah kehidupan diperbalikkan dengan berbagai hal-hal yang menjadi dasar atau awal pemikiran –arti dari ‘back-to-it’s-source’.

“Dengarlah, Arthur…sepupuku yang sangat kusayang.”, Franziened Paleczny merangkul.

“Aku sudah bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu puing-puing ke puing-puing lain. Dari satu tikar ke tikar lain. Hanya kamu satu-satunya yang meyakinkan aku untuk bertempat di bangunan ini hingga akhirnya aku tinggal di tempat ini hampir tiga minggu ini. Tapi, Arthur…aku lebih mudah bertahan hidup jika aku tidak menggantungkan hidupku pada orang lain, bahkan kamu sekalipun. Ini semua persoalan mudah…biarkan aku hidup semdiri dan kamu akan melihatku baik-baik saja.”.

Senyuman Franziened Paleczny nampaknya membuat mata Arthur harus dibuat sendu. Dia tahu sejarah panjang dan kelam Franziened Paleczny. Dia tahu siapa sepupunya itu dan tidak sekalipun Arthur menyangka bahwa dia telah berhutang budi banyak padanya –bahkan Franziened sendiri masih merasa rendah hati.

“Kamu masih seperti yang dulu, ya, saudaraku.”, Arthur mengembangkan senyuman dengan tatapannya yang nanar.

Franziened Paleczny ikut menyunggingkan senyuman yang sama seperti Arthur, tapi dengan bercak-bercak roti dan bekas selai stroberi di barisan gigi seri atas. Matanya menunjukkan kepuasan, kelegaan dan keinginan untuk menyimpan kenikmatan itu untuk waktu yang lama.

            Perbincangan hampir tidak ada lagi sampai Franziened Paleczny selesai menyuap roti potongan terakhirnya dan menyimpan sisa roti yang masih ¾ bagian ke dalam bungkusan yang selamat dari tindakan beringas awalnya. Dia menghela nafas lega. Ini makanan ternikmat buatnya di tengah persembunyian seperti itu. Tidak ada yang lebih nikmat daripada memakan sepotong kecil roti Baguette ketimbang sebuah roti Ciabbatta utuh yang sudah berjamur. Tidak ada yang lebih menenangkan dahaga, air mineral murni yang diambil dari aliran sungai Rhenes dan diolah sedemikian rupa ketimbang air yang menetes dari atap puing-puing bangunan yang masih utuh bersamaan dengan debu, kotoran dan sedikit asam lapisan udara. Franziened Paleczny masih bisa bernafas lega. Setidaknya, roti baguette tersebut akan menjadi obat pelepas rasa laparnya selama satu minggu terakhir.

Arthur mengeluarkan koran “Oczach Swiata” dari dalam jaket militernya lalu menyerahkannya pada Franziened Paleczny. Sosok pria berjanggut itu sudah tidak kelaparan, masih ada yang mengganjal di perutnya dan mengobati rasa laparnya.  Dia mengambil koran tersebut untuk membaca halaman terdepan dari koran propaganda pers.

“Lihat halaman empat koran ini !”, Arthur membantu Franziened Paleczny membuka halaman keempat.

“Ini adalah peta yang dibuat oleh pemerintah agar semua umat Muslim di Holly Staatz bisa pergi dari wilayah Holly Staatz…entah kemana, pemerintah tidak peduli meskipun batas negara Holly Staatz dengan Weirgemacht dan Caruso telah tertutup untuk pengungsi Muslim.”, Arthur menjelaskan maksud dari peta Holly Staatz.

“Jika ingin pergi dari tempat ini…pastikan kamu menyaksikan peta ini dan jadikan patokan bahwa kedua negara di Barat Holly Staatz itu sudah menutup perbatasan dan hanya menerima umat Muslim yang memiliki keluarga disana.

Arthur menghela nafas panjang saat Franziened Paleczny memerhatikan dengan serius isi koran tersebut.

“Pergilah ke Selatan perbatasan…mulai besok…aku akan ditugaskan memimpin batalyon tempur Carmeleon di St. Yerevan. Jadi…jika memang keadaan mendesak…larilah kesana karena aku akan selalu membantumu.”.

Mendengar penjelasan Arthur tersebut, Franziened Paleczny malah tertawa pelan –diselingi batuk-batuk rejan karena cuaca yang mulai memasuki musim dingin. Tangannya terangkat dan meletakkannya di kepala Arthur.

“Terima kasih untuk kebaikanmu, Arthur. Jangan khawatirkan aku. Dum spiro, spero !”, Franziened Paleczny mengusap-usap rambut sepupunya itu.

Arthur terdiam dan mau tidak mau harus meninggalkan tempat itu karena terlalu riskan untuk berlama-lama disana –mungkin saja akan ada orang yang mencurigai tempat ini ketika melihatnya masuk ke dalam dan keluar dalam rentang waktu yang sangat lama. Arthur memandang Franziened Paleczny dengan tatapan belas kasih. Baju usang yang dikenakan Franziened Paleczny menggugahnya untuk memberikan jaket militernya yang tebal dan hangat. Dia juga ingat kalau musim dingin akan segera memasuki wilayah Holly Staatz dan sepupunya itu belum memiliki jaket tebal untuk menghangatkannya. Dia pun melepas dan mengenakannya pada Franziened Paleczny.

“Dua rumah dari tempat ini, aku menemukan bangkai piano Petrof…kupikir sudah hancur, tapi suaranya masih lembut terdengar saat aku menekannya.  Mungkin, kamu bisa melantunkan beberapa lagu pada tengah malam nanti ? Dimana tentara-tentara Demichelis pasti dengan bodohnya tertidur lelap. Pelan-pelan saja memainkannya…mungkin dengan begitu, kamu bisa lebih terobati di tengah kesendirianmu ?”, Arthur bangkit lalu berjalan pelan menuju ‘pintu’ masuk.

Franziened Paleczny ikut bangkit lalu menemani langkah Arthur ke ‘pintu’ masuk. Mereka berdua mengangkat ‘pintu’ masuk tersebut dan merunduk untuk menghindari batas lubang yang sangat rendah. Sesaat sebelum Franziened Paleczny menutup ‘pintu’ itu lagi, Arthur menoleh ke arahnya seraya tersenyum dan mengatakan, “Semoga bertemu lagi, sepupuku !”.

“Terima kasih, Arthur.”, Franziened Paleczny tersenyum –menandai keberpisahan dua saudara tersebut.

            Franziened Paleczny memotong secuil roti baguettenya hingga berbentuk serpihan dan memberikannya pada seekor ikan kecil yang berenang di kubangan bekas kolam di pekarangan yang sudah tertutup puing-puing reruntuhan. Dia memandangi ikan kecil tersebut dengan bantuan cahaya bulan yang sangat terang karena purnama. Terkadang permukaannya beriak-riak tergeser angin beku yang mulai bertiup di awal musim dingin tahun 1995.  Sekeliling Franziened Paleczny tampaknya kosong. Tidak seorang pun melintas di Under Theodoric Platz itu –bahkan jejak patroli Tentara Kristen Demichelis enggan ditinggalkan di bekas jalan protokol tersebut.

Franziened Paleczny menghela nafas panjang setelah puas melihat ikan kecil itu tidak seperti dirinya yang kemarin –kelaparan hingga hampir mati. Dia bangkit dan memandangi sekelilingnya. Matanya menembus berbagai puing-puing yang berserakan layaknya kotoran burung yang tercecer di atas kaca mobil –berantakan, kotor dan memuakkan. Malam sangat terang tapi, awan-awan gelap musim dingin mulai berarak-arak menutupi bulatnya bulan. Terkadang, Franziened Paleczny dapat melihat bayangan hitamnya di permukaan tanah. Ini kuasa Allah. Di balik kegelapan malam yang buruk, masih ada sebercak cahaya terang yang sangat indah. Jaket merah maroon yang dikenakannya untuk mengusir hawa dingin yang membekukan di bawah pancaran sinar purnama itu terlihat seperti warna darah yang menggumpal. Franziened Paleczny melihat jam tangan Gucci yang sudah retak. Jarum jam menunjukkan secara samar-samar, pukul 11.23 P.M. Entah apa yang dirasakan keturunan langsung keluarga Paleczny itu, tapi yang pasti, dia bisa merasakan purnama seperti berbicara padanya.

“Aku gelap. Aku hitam. Tapi, aku diberkati cahaya. Aku menerangi khusus untukmu. Aku ingin memintamu memainkan sonata untukku. Di bawah cahayaku. Di tengah desir angin beku. Sampai waktunya untukmu berpaling dariku…mainkanlah sonata untukku. Mainkanlah…mainkanlah untukku sejenak saja.”.

Franziened Paleczny berjalan menuju rumah yang dimaksud oleh Arthur tadi siang. Dia sudah membayangkan bahwa dirinya akan melihat Petrof untuk pertama kalinya semenjak dia melarikan diri dan bersembunyi di seluruh pelosok Holly Staatz. Langkahnya terlihat besar. Tempo ayunan kedua kakinya seperti irama terburu-buru. Mata dan kepalanya menjelajahi sekelilingnya dengan kewaspadaan yang displiner. Titik horizon mulai tampak di seberang matanya dan menampilkan sesuatu yang tidak diduganya sejak mencapai St. Raphael. Dia melihat sebuah piano Petrof masih berdiri angkuh di tengah puing-puing yang berserakan di sekelilingnya. Warnanya senada dengan warna langit malam. Meskipun terlihat angkuh dan sombong, dia sebenarnya sendirian dan menyuguhkan pemandangan suram yang terkesan ‘aneh’. Dia sebenarnya ingin diperhatikan, namun lebih mengutamakan gengsi yang terlampau menguasai pikirannya –kalaupun seandainya, dia dapat berpikir. Jadi, dia tetap ingin berdiri sebagai ‘pribadi’ yang angkuh dan menonjolkan kemegahannya yang telah termakan perang.

            Franziened Paleczny tidak peduli dengan kesombongan dan keangkuhan piano Petrof tersebut. Dia lebih mengutamakan kerinduannya yang sangat menggebu terhadap jari-jemarinya. Bunyi gemeratak dari tulang-tulang jari yang digerakkan berulang-ulang menjadi sinyal bagi kerinduannya. Petrof sendiri tampaknya yakin, keangkuhannya berbuah hasil dengan menarik seseorang yang peduli padanya. Di bawah sinar purnama terakhir di awal musim dingin tahun 1995, Petrof bisa tersenyum bangga. Debu-debu yang membekas di badannya disapu oleh tangan kusam Franziened Paleczny. Penutup tuts-tuts dibuka dan muncul debu-debu yang sudah terkurung cukup lama. Mereka akhirnya bisa berteriak bebas disambut angin dingin malam dan tiupan keras Franziened Paleczny. Setelah itu, Petrof bisa semakin tersenyum bangga saat Franziened Paleczny duduk di bangku putarnya dan memandangi kedelapan puluh delapan tuts yang berbaris menawan. Senyuman Petrof semakin melebar dan bahkan dia tidak bisa mengungkapkan kebahagiaannya lagi lewat senyuman –saat Franziened Paleczny menekan tuts yang pertama dengan jari telunjuknya.

Franziened Paleczny memejamkan kedua matanya. Meresapi udara yang dihirupnya. Apa yang diciumnya, bau kerinduan dalam bentuk harum. Apa yang dirasakan seluruh rambut kulitnya, hembusan lembut seperti tangan yang membelai. Apa yang menjalari otaknya, pikiran betapa indahnya partitur sebuah lagu yang akan dimainkannya nanti –mulai dari irama awal, tengah hingga akhir. Dia tidak lagi memedulikan apakah dia akan mati setelah memainkannya. Tidak lagi peduli apa yang akan terjadi pada dirinya. Yang dia inginkan adalah memuaskan kerinduannya pada sebuah keahlian yang dulu begitu diagungkan manusia. Musik.

”Pintu masuk dunia baru adalah pemikiran. Filsafat adalah jalannya. Mencari kebenaran sesuatu tampak terlihat seperti perbuatan sepanjang masa. Hanya kita yang tahu apa isi pikiran kita sendiri. Aku bukan menganggap agama lain salah, tetapi kupikir ini hanya sebuah pernyataan saja bahwa Islam ternyata adalah refleksi dari rasa cinta, kasih sayang dan pengorbanan. Aku menyatakannya...dan aku mempercayainya...
Bukan Holly Staatz yang menjadi biang dari semua diskriminasi di dalamnya, hanya saja campur tangan seseorang menjadi pengaruh bagi keseluruhan hidup manusia di Holly Staatz.
Republik Holly Staatz adalah negara merdeka dengan luas yang tidak lebih besar daripada Kerajaan Liechtenstein. Sebagian besar penduduknya adalah penganut Kristen Adoreni, sementara sebagian kecil lainnya, penganut Islam. Sudah empat puluh tahun semenjak peristiwa Presiden Mosayev dan Perdana Menteri Salahuddin yang mengobarkan perang saudara pertama Desember 1954. Kemenangan menjadikan pemenang menjadi penguasa. Republik Holly Staatz pun resmi menjadi bersistem presidensil dengan tampuk pemerintahan dan kenegaraan berpusat pada Mosayev Tsayelick, keturunan Paleczny, uskup Kristen Adoreni yang cukup berpengaruh pada setiap kebijaksanaan negara. Mosayev melakukan revolusi sistem pemerintahan dengan mengandalkan kegemilangan ekonomi. Kepercayaan masyarakat pun semakin terekspos.
Harta menjadi sumber segala keburukan dan ketika Mosayev meninggal dunia tanggal 16 September 1962, penggantinya pun berlomba-lomba untuk menjadi penguasa sehingga terjadi kekacauan yang hampir meletuskan perang saudara kedua pada Januari 1963. Beruntung Salsamael Paleczny mengambil alih tampuk kekuasaan dari tangan-tangan haus kekuasaan. Salsamael Paleczny yang notabene adalah keturunan uskup Agung Kristen Adoreni, memiliki kharisma yang sangat mencekat dan membunuh semua mata yang memandanginya dalam 5 menit pertama. Dukungan mengangkat keluarga Paleczny sebagai presiden kedelapan belas Holly Staatz diatur dan diset sedemikian rupa hingga tujuan mereka yang ditunggangi kepentingan Ob Deo –organisasi rahasia yang terdiri atas uskup-uskup Kristen Adoreni Holly Staatz dan bankir-bankir korup di negara-negara lainnya, tercapai dan suksesi masa depannya terlihat
Kenapa aku bisa menyatakan hal itu ? Jawaban mudahnya...aku pernah berada di dalamnya dan terlibat ke dalamnya.
Lalu, untuk apa melakukan semua itu ? Jawabannya pun semakin mudah...tujuan mereka adalah menciptakan negara layaknya Vatikan kedua di dunia sebagai pusat Katolik, atau Israel kedua sebagai pusat Jewish atau bisa aku katakan, mereka terinspirasi oleh Mekkah, kiblat utama Islam...dan mereka ingin Holly Staatz menjadi pusat serta kiblat para penganut Kristen Adoreni. Ironis.
Tepat dua tahun yang lalu, aku mengucapkan dua kalimat syahadat...Asyhadu’ala  illaha illallah, wa asyhadu’anna muhammadurrasulullah...tepat pada hari yang bersamaan pula, muncul Resolusi Holly Staatz 2468/311 yang menyatakan RUU Perubahan UUD Holly Staatz disetujui parlemen dengan perbandingan 28 : 5. RUU Perubahan yang totalitas mengganti dasar negara (bukan sebuah amandemen), menjadikan negara Republic Holly Staatz menjadi negara Theocracy dengan nama baru Holly Theocratstaatz atau mereka lebih senang menyebutnya dengan Holly Land. Dengan dasar negara menjadi berdasarkan agama tunggal yang mereka percayai, tidak ada tempat untuk para penghuni berlainan. Holly Land hanya dapat diisi dengan orang-orang yang mempercayai bahwa konsep kebaikan dengan trinitas itu benar.
Aku sendiri melarikan diri dari keluargaku, yang notabene adalah aku keturunan Paleczny –bahkan aku adalah keturunan pertama yang akan menampuk kekuasaan luar biasa dari Holly Land setelah Uskup Karicezwecki Paleczny, ayahku. Mereka tahu apa yang telah terjadi padaku dan aku lebih tahu kalau mereka akan membunuhku kalau mereka tahu apa yang telah terjadi padaku. Kalau saja aku bisa menuliskan seberapa inginnya mereka membunuhku, hanya ada satu sebutan untukku, Pengkhianat !
Dalam Injil Adoreni, Yenessaya 23 : 1 disebutkan bahwa ’Hanya ada satu hukuman untuk pengkhianat-Mu, mati.’. Jadi, aku bisa simpulkan kalau jika mereka menemukanku, maka surat inilah yang menjadi hal terakhir yang kulihat.

            Franziened Paleczny mulai melakukan aksi di bawah pancaran sinar purnama. Ayunan jari telunjuknya seperti sebuah tongkat konduktor dalam orkestra –memulai alunan musik. Permainan pun dimulai.
Nuansa berat yang dipejalkan oleh sentuhan nada-nada rendah dan gelap terdengar seperti sebuah kata, ’kesepian’.  Senyuman Petrof berubah menjadi jeritan hati Franziened Paleczny.

”Apa kamu tahu ? Aku kesepian…temanku malam ini hanya kamu. Mengagumkan melihatmu memainkan seperti tarian tangan yang kompleks. Tapi, aku lebih kagum melihatmu bertahan dalam kerendahan emosional dan kesepian di tengah persembunyian. Aku iri padamu. Aku dipayungi hanya oleh cahaya bulan di malam hari, ditemani angin dingin dan gersang bergantian di siang hari atau dijadikan sorotan mata heran dan membunuh. Bisakah aku menjadi sepertimu ? Berlindung dari sorotan mata membunuh, bersembunyi dari sasaran anak panah berbumbu mesiu dan racun, atau tetap rendah hati seperti individu yang tidak pernah berdosa. Hanya saja aku tidak bisa bergerak, berperasaan dan berpikir cerdas, bukan berarti aku tidak bisa melakukannya sepertimu. Semuanya disebabkan oleh kesombonganku semenjak diciptakan dan aku tidak bisa berdiri dengan tanpa keangkuhan, meskipun diriku sudah termakan perang berkepanjangan oleh jenismu yang menjijikkan.”

Jari-jemari Franziened Paleczny menggerak-gerak seperti gerakan kaku dengan sistem robotik. Tarian tangannya seolah beku dengan ujung-ujung jemari yang melemah dan kehilangan syaraf sensoriknya. Namun, Moonlight Sonata yang dimainkannya masih terdengar sangat lembut seperti belaian gotik dan penuh nada muram –meskipun lebih terdengar seperti jeritan ketakutan. Moonlight Sonata. Franziened Paleczny terakhir kali memainkan sonata milik Ludwig van Beethoven tersebut pada saat dia memainkannya secara tersirat bermakna sebagai salam perpisahan di Taman Kota St. Etilenna. Waktu itu, dia masih resmi menjadi komponis dan pianis di Gereja Kristen Adoreni Slyt. Valeri.

Mata Franziened Paleczny masih terpejam. Dia menghirup udara dalam-dalam, mengartikan setiap cc yang dihelanya dan menghembuskan udaranya penuh kelegaan. Mulutnya tertutup saat menarik nafas dan membuka ketika menghembuskannya. Kedua pundak Franziened Paleczny naik-turun sesuai dengan nada-nada yang dimainkan. Lengannya mengayun-ayun seperti gelombang pasang-surut air laut. Kedua tangannya menari berdampingan dengan jari-jemarinya –karena terlihat kaku, lebih terlihat seperti tap dance. Tubuhnya pun membentuk opini bagi yang melihatnya bahwa dia menikmati permainannya sendiri. Hasil suaranya adalah merdu dan begitu menyentuh. Suasana kesuraman dan kesedihan yang dirasakan Franziened Paleczny terdengar dan diantarkan oleh angin dingin yang melintas ke sekelilingnya. Under Theodoric Platz benar-benar terlihat sebagai kota hantu. Sepi. Bahkan seranggapun enggan menyuarakan ciri khasnya. Atau binatang melata enggan melintasi puing-puing hasil bombardir perang saudara. Apalagi manusia-manusia berseragam militer merah maroon sangat sungkan untuk melintasinya. Kendaraan-kendaraan perang tidak mampu bergerak melintasinya. Jadi, Franziened Paleczny aman berada di tempat tersebut. Bahkan memainkan Petrof dianggap nyanyian hantu dari kota hantu oleh orang-orang yang mendengarnya dari kejauhan. Sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan Franziened Paleczny selain memainkan tuts demi tuts yang menyayat dari nada Moonlight Sonata tersebut. Dia tidak lagi peduli meskipun tertembak timah panas atau tertangkap hingga disiksa bakar atau bentuk penyiksaan fisik lainnya. Yang ada di otaknya adalah memainkan sonata tengah malam itu sampai bulan menyingkir dari peraduannya di langit luas dan digantikan terang cahaya mega. Dia ingin memuaskan diri dengan kata-kata musik yang dihasilkan dari dentingan anggun dan angkuh Petrof.

            Berhenti pada bagian kedua dari Moonlight Sonata, Franziened Paleczny menumbuk seluruh jemarinya di atas tuts-tuts Petrof. Terdengar nada mengejutkan dan rusak yang seperti teriakan kaget Petrof. Kalau saja, Petrof bisa berlari, dia akan berlari menjauh karena Franziened Paleczny seolah menderita schryzofenia –kepribadian ganda. Burung-burung malam yang berada dalam radius 50 meter dari Petrof pun ikut melarikan diri dengan berterbangan ke arah yang tidak jelas dan formasi yang berantakan. Seiring dengan tumbukan keras tangan Franziened Paleczny, cahaya bulan mulai meredup. Awan hitam kelam terlihat bergerak perlahan menutupi seluruh permukaan purnama. Moonlight Sonata berasimilasi dengan lingkungan di sekitar Franziened Paleczny dan membentuk sebuah kesuraman hati dan pikiran. Pejal dan pekat. Kesuraman yang dirasakan Franziened Paleczny. Di dalam hati, dia berdoa entah untuk siapa. Keluarga bukan lagi nomor satu untuknya. Dia seperti terjerat dalam kehampaan. Yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu waktu yang tepat untuk entah-apa-lagi-yang-harus-dilakukannya. Muram. Franziened Paleczny kembali mendayu-dayu bersama Petrof. Kali ini, kepala Franziened Paleczny terangkat dan menghadap ke langit. Dia seolah bisa melihat wujud Allah yang sebenarnya. Bukan hitam dan muram seperti yang ditampakkan oleh langit malam musim dingin. Bukan pula terang cahaya purnama yang muncul malu-malu dari balik awan abu-abu pekat kehitaman yang mondar-mandir di sekelilingnya. Tapi, sosok Allah mungkin seperti sebuah kekosongan. Tidak tampak. Tidak berbentuk bahkan setitik debu pun tidak. Benar-benar seperti kosong fisik, tapi secara kognitif terekam di otak.

”Aku pernah berpikir tentang konsep Allah. Yang kuyakini dulu, Allah adalah teoritis dan kompleks. Trisula pengemban tampuk Ketuhanan seperti bingung memposisikan diri mereka masing-masing. Apalagi umat-Nya ? Sekarang aku menemukan Allah dalam satu kesatuan yang utuh, tidak terbagi dan tidak berupa. Meskipun nada yang kumainkan berulang kali meresponsifkan apa yang aku pikirkan, selalu saja wajah itu muncul. Wajah Allah yang selalu kubayangkan dan hanya aku yang bisa mendeskripsikannya. Dia Maha Tunggal dan aku pun percaya, Islam meyakinkanku tentang konsep itu.”

Kecepatan dan kelenturan tangan Franziened Paleczny semakin kompleks dan masuk dalam tahap sangat menyulitkan. Dia menghabiskan waktu 20 menit hanya untuk memainkan sebuah Moonlight Sonata dengan kelengkapannya. Petrof pun bisa bernafas lega karena dia sendiri jujur, tidak bisa mengikuti permainan pria berjanggut di atasnya tersebut. Tarian jari-jemarinya menampakkan bahwa keangkuhan Petrof binasa. Dia mati. Franziened Paleczny telah membunuh keangkuhannya. Kalau saja, dia tidak menunjukkan seluruh kemampuannya yang memiliki kharisma dan kemampuan virtuis yang elegan, pembunuhan terhadap Petrof pun akan gagal. Tapi, karena dia melakukan apa yang Petrof bilang sebagai kemampuan ciptaan Allah, Petrof pun dibunuh pelan-pelan. Keangkuhan dan kharisma sombong yang dimiliki Petrof binasa tanpa darah memancar sedikitpun dari tubuhnya.

            ”Holly Staatz...negara yang kecil, namun dipengaruhi kekuatan yang besar, Ob Deo. Negara yang kecil, namun memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan dunia. Negara yang kecil, namun bisa membunuh negara sebesar United States of Indisch sekalipun. Negara yang kecil, namun mengatur perekonomian dunia dengan kurs keuangannya. Negara yang kecil, namun mampu mengubah peta dunia.
Sejujurnya, kita sebagai warga Holly Staatz merasa perlu berbangga diri. Keeleganan negara kita tidak bisa dibandingkan dengan negara lainnya,hingga  bahkan ada pepatah mengatakan, ’Lalat busuk pun tidak mungkin menghinggapi Holly Staatz meskipun Holly Staatz sudah menjadi bangkai sekalipun.’. Tapi, bukan berarti Holly Land bisa dibangun di atas sebuah bangkai Holly Staatz. Diskriminasi agama, perselisihan antar saudara setanah air. Keduanya hanya menjadi alat bagi sebagian kecil orang untuk menguasai negara elegan ini. Holly Staatz memang sudah menjadi bangkai dan Holly Land mencoba didirikan di atasnya. Tapi, suatu negara yang dibangun dengan diskriminasi dan mengesampingkan norma dan etika adalah suatu konseptualitas negara yang salah. Jujur pula, aku mengajak seluruh umat Muslim untuk melakukan apa yang menjadi tanggung jawab kita. Melaksanakan apa yang menjadi kewajiban kita. Membuat semua yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban kita adalah memiliki satu tujuan, yaitu Allah. Mati pun seharusnya kita tidak peduli. Kalah juga bukan suatu permasalahan. Yang pasti, berjuanglah atas nama Allah dan keyakinan kita atas-Nya. Karena satu hal yang paling kita tunggu-tunggu sejujurnya adalah berbaring tenang di dalam tanah dan menunggu datangnya surga pada kita. Wallahualam...”

Dentingan terakhir Moonlight Sonata terlihat megah. Awan hitam pun sempurna menutup sinar bulan yang menembus atmosfer bumi. Tidak ada apa-apa lagi di langit, bahkan titik bintang pun tidak. Angin dingin pun berulang kali mengatakan pada Franziened Paleczny bahwa mereka akan terus mencoba untuk menusuk seluruh bagian tubuhnya dan membuatnya mati kedinginan. Desiran suara angin yang bergelombang-gelombang juga mengatakan pada Franziened Paleczny bahwa mereka tidak jauh berbeda dengan denting yang dilantunkannya –merdu dan penuh irama dinamis. Pada saat yang bersamaan, suara angin mendayu-dayu berubah seperti jeritan serangan yang menandakan adanya mata yang mengawasi Franziened Paleczny. Pria itu menoleh dan mendapati seekor anjing menyalak dan berlari ke arahnya. Franziened Paleczny seperti tidak memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Anjing itu berlari dalam kecepatan 80 km/jam, namun karena jarak yang begitu dekat, semua jadi terlihat sangat instan. Anjing itu melompat dan siap menerkam Franziened Paleczny dengan mulut dan cakarnya yang beringas dan...DOORR !!

Letusan senjata api itu membuat semuanya buyar dan darah memuncar hingga mengenai wajah Franziened Paleczny yang hanya bisa memejamkan mata dan pasrah. Lengkingan anjing diselingi suara tubuh kecil yang terjatuh menandakan bahwa Franziened Paleczny masih selamat. Dia membuka sedikit matanya dan mendapati anjing liar itu terkapar tidak bernyawa di dekatnya. Darah kotor itu mengalir di sekeliling tubuhnya dan menggumpal seperti membentuk genangan air hujan. Menjijikkan saat melihat nafas anjing tersebut masih menghela-hela seolah-olah meminta tolong pada Franziened Paleczny untuk mengurangi rasa sakit yang dirasakannya. Tidak selang berapa menit kemudian, anjing itu menghembuskan nafas terakhirnya dengan mata yang membelalak kesakitan. Namun ada satu titik air yang mengalir dari matanya. Franziened Paleczny menduga bahwa itulah air mata pertama yang dikeluarkan oleh sang anjing. Meskipun menjijikkan saat melihat tetes air mata yang bercampur dengan darah lengket, Franziened Paleczny melihatnya sebagai keindahan nyata yang diciptakan oleh dunia. Air mata dan darah bisa menyatu dengan begitu hebatnya dengan rasa sakit yang menjalari apa yang diyakini.

Franziened Paleczny menoleh ke arah sosok yang menembak anjing itu di saat yang sangat tepat sekali. Rupanya dua belas orang berseragam militer merah maroon dalam posisi yang sama –siaga menyerang, berdiri dalam jarak 100 meter kurang. Mereka adalah Tentara Kristen Demichelis. Salah satu dari mereka yang memiliki jarak paling dekat dengan Franziened Paleczny berteriak.

”Siapa kamu ?”.

”Abu Hamzah !”, Franziened Paleczny menyebutkan namanya seraya mengangkat kedua tangannya karena ujung senapan mereka mengarah ke dirinya.

”Muslim ?”, Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny cukup merasa kebingungan.

”Lebih bangga aku disebutkan seperti itu !”, Franziened Paleczny bangkit dari tempat duduk putar lalu menghadap ke arah para tentara itu dengan tangan yang tetap terangkat.

”Apa yang kamu lakukan ?”,

”Bermain...emm...piano.”, jawaban Franziened Paleczny sangat datar.

”Kenapa kamu memakai jas itu ?”, Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny berjalan menghampiri Franziened Paleczny dengan ujung senjata masih mengarah padanya. Sisa tentara lainnya tampak melindungi di belakang.

”Pemberian dari kawan untuk mengusir hawa dingin di musim ini.”,

Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny berjalan mendekat dan jarak mereka memungkinkan bagi satu sama lainnya untuk saling mengenali wajah.

”Tuan Franziened Paleczny ?”, Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny itu terbelalak. Matanya seolah ingin meloncat dari pangkalnya. Mulutnya gemetar dan ketakutan menyambangi pintu otaknya. Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny mengenal siapa komponis gereja yang sangat diidolakannya itu. Di dalam hati Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny mungkin saja mengatakan, ’Pantas saja dengan apa yang kudengar malam ini, Moonlight Sonata yang sangat hebat seperti saat Beethoven mengalunkannya untuk pertama kali. Berat dan suram.’.

Franziened Paleczny memasang senyuman sambil tetap dalam posisi menyerah. Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny mengendurkan posisi senjatanya meskipun tetap waspada.

”Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Tuan ? Semua orang mencari-carimu...”, Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny menggeleng-gelengkan kepalanya seraya mengalungkan senjatanya di pundak kanan.

”Tidak ada yang terjadi padaku. Hanya perubahan kecil yang tidak bisa diterima negara dan aku terpaksa harus meninggalkan semuanya.”.

”Kepalamu dibayari enam juta kolns, Tuan.”, Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny terang-terangan mengatakannya.

”Aku lebih dulu tahu hal itu dari kawanku.”, Franziened Paleczny tersenyum lucu.

Kabar buronan tentangnya itu sudah cukup lama diketahui, jauh sebelum Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-
Dengan-Franziened-Paleczny itu mengulangnya.

”Lalu...apa kamu tertarik dengan sayembara itu ?”, Franziened Paleczny menurunkan kedua tangannya perlahan-lahan.

Semua orang di belakang Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny itu mulai waspada. Terdengar suara gerakan reload bersamaan dan sedikit membuat Franziened Paleczny mengurungkan niatnya untuk menurunkan kedua tangannya.

”Semua orang menginginkan sayembara itu, Tuan. Tapi, aku bukanlah orang yang haus kekuasaan ataupun harta benda. Aku hanya seorang tentara Demichelis yang berjuang atas nama Tuhan. Dominus Illuminatio Mea.”, Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny itu tersenyum.

Dia meraih revolver yang ditaruh di sabuk celananya dan memberikannya pada Franziened Paleczny.

”Keputusanmu hanya ada dua, Tuan. Dengan membunuhku atau membunuh dirimu sendiri.”,

”Apa maksudmu ?”, Franziened Paleczny bingung saat menerima revolver tersebut dengan tangan kanannya.
Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny tersenyum penuh makna. Dia seperti mengatakan dalam raut wajahnya, ’Ayolah...pilihanmu hanya ada dua sekarang.’.

”Anggap saja, aku masih menghormatimu, Tuan. Aku tidak mungkin membunuh Tuanku sendiri, sementara sebuah kewajiban bagiku untuk membunuhmu atas nama Tuhan.”, Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny memberi penjelasan.

Franziened Paleczny tersenyum paham karena Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny itu tidak sanggup untuk membunuhnya.

”Bagaimana kalau kita berdua tetap hidup ?”, Franziened Paleczny memberikan kembali senjata tersebut pada Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny.

”Anggap saja pertemuan kita ini tidak pernah terjadi...”.

Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

”Meskipun aku menganggap seperti itu, Tuhan Maha Melihat. Aku tidak bisa meninggalkan apa yang sudah aku lakukan atas nama-Nya.”.

”Kalau begitu, mudah !”.

Gantian, giliran Franziened Paleczny tersenyum penuh makna.

”Antara Tuhan dan kamu hanya ada satu janji...membunuhku atau terbunuh olehku ? Bukan begitu ?”.
Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny mengangguk.

”Sekarang...penuhilah janjimu !”, pada saat ketika Franziened Paleczny mengatakan hal tersebut, dia langsung menelikung kedua tangan Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny seraya merebut senjata AK yang digantungkannya di pundak kanan.

Tepat pada saat yang bersamaan, tentara-tentara lainnya yang memang tidak tahu apa konversasi antara Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny dengan Franziened Paleczny sendiri langsung mengarahkan senjata mereka dan bersiap menembakinya.

”Siapa namamu, Nak ?”, Franziened Paleczny berbisik ketika kedua tanga Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny ditelikung hingga tidak bisa bergerak sedikitpun.

”Rafahl Spilzmann.”, Dia-Yang-Memiliki-Jarak-Terdekat-Dengan-Franziened-Paleczny menjawab dengan nafas yang terkejut.

”Baiklah, Rafahl Spilzmann...pikirkan kembali tentang Islam...”.

Setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya, Franziened Paleczny mendorong tubuh Rafahl sekuat-kuatnya –tepat pada saat letusan demi letusan menjurus ke arah Franziened Paleczny tanpa sekalipun Franziened Paleczny memberikan perlawanan. Empat belas peluru AK menembus di seluruh badan pria kurus tersebut. Darah langsung memancar ke segala arah dan percikannya tampak seperti bunga kembang api alami berwarna kemerahan.

            ”Untuk seluruh umat Muslim, aku, Abu Hamzah, sangat yakin kemenangan kita akan datang dan kita akan terus mengalami kemenangan –karena kebenaran yang hakiki adalah kebenaran yang disampaikan oleh Al-Quran.
Tertanda,
pALECZNY
Abu Hamzah”

Another Conversations...



"Leave it or keep it?"
"Ooh,shit!! You don't even know me!!"
"Just answer!"
"..."
"Not answering?"
"Can we talk nothing?"
"Leave it! Just that my answer for you..."


Rabu, 08 Juni 2011

[shame]




OOH, SHIIT!!
IT HAPPENED AGAIN!!
FALLEN DOWN ABSTRACTLY!
MY EYES MUST BE BLINDED!!
STAB!! STAB!! STAB!!



A Piece of Trevi


            Mencakar langit gelap dan merobeknya cepat-cepat; itu harapan dari Malam. Filosofi hidup Malam, ingin secepatnya siang. Dia takut gelap. Traumatik berkepanjangan sejak usia bangku SD. Dia pernah berada dalam kegelapan selama hampir delapan jam. Ulah anak-anak usia delapan tahun di Auckland yang masih labil dan penuh keegoisan. Menjadi lebih dewasa karena hal-hal sepele, Malam begitu. Tapi, dia lebih suka berdiri dengan manis disini; di depan etalase toko musik yang memajang grand piano Petrof. Membayangkan dia duduk di kursi putar dan meregangkan jari-jemarinya; menekan tuts-tuts pertama dengan intuisi yang bebas. Membayangkan hasil bunyi tuts-tuts piano yang menggerung-gerung menampilkan wajah Moonlight Sonata. Dia berdiri tegap berada di depan etalase toko musik yang diterangi lampu sorot –tanpa satupun gangguan mengacuhkannya.

Tapi, “Malam !”.

Malam menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Sosok perempuan usia dua puluh tahunan melambaikan tangannya dan berjalan cepat –menghampirinya. Namanya Raine Trevi; dengan tubuh rampingnya –menunjukkan dirinya yang seorang model.

Tinggi badan Trevi sekitar 178 cm; sementara Malam 172 cm –lebih pendek. Perempuan itu berdiri, memandang wajah Malam yang sedikit masam, kedua tangannya dilipat ke belakang tubuhnya dan dia menunjukkan senyuman manisnya. Wajahnya mendekat ke wajah Malam. Paparan senyuman Trevi semakin kentara. Sangat manis dan bersahaja. Trevi adalah salah satu model majalah Belle yang paling disukai editor –senyumnya indah, begitu kata editor majalahya.

“Sudah lama nunggunya ?”.

“Belum. Lima menit yang lalu baru datang.”.

Malam membantu Trevi membawakan sekantung barang belanja. Dia sempat melirik ke arah Trevi dan menghela nafas panjang lega.

Entah kenapa aku merasa sangat beruntung sekali setiap bisa melihatmu di depan sini, Trevi. Aku beruntung sekali bisa setiap saat menikmati wajahmu yang anggun. Aku beruntung sekali bisa setiap malam ditemani minum night coffee denganmu. Aku benar-benar merasa beruntung sekali bisa menyaksikan bintang setiap malam dari kaca jendela kamar tidur kita. Semua terjadi seperti kita tidak dipisahkan jurang perbedaan yang nyata.

“Kenapa bengong ?;

Matanya memandang Malam dengan heran sambil memegang tangan kiri Malam yang bebas dari barang bawaannya.

“Gimana coffeeshop ?”.

Trevi memulai perbincangan ringan antara dirinya dan Malam.

“Bagus. Rating hari ini menanjak. Sampai sore tadi kutinggalkan, sudah ada 58 pengunjung mengisi kuisioner dan penghitungannya lumayan.”.

“Apa yang paling banyak diminta ?”, Trevi merangkul lengan Malam –meskipun terlihat timpang dengan tinggi badan.

“Aku dan kamu.”, Malam menghentikan langkahnya sehingga Trevi ikut berhenti.

Trevi menoleh dan memasang wajah bingung. Rambut panjangnya tergerai indah sepunggung; bergelombang dan hitam. Dari wajahnya, Trevi merasa aneh dengan tindakan Malam. Seolah-olah, Malam ingin memberikan kejutan yang membingungkannya. Malam sendiri sepertinya tampak canggung –setengah mati. Mata Malam berpancar keinginannya menyatakan sesuatu. Malam bertekad merubah kehidupannya. Raut wajah Malam memerah –padahal malam itu malam musim dingin.

“Kenapa kamu jadi diam begitu, sih ?”, Trevi mencoba merayu Malam.

Trevi mendekatkan wajahnya ke wajah Malam –semakin memerah. Harum tubuh Trevi tercium dan membuat mau tidak mau wajah Malam semerah tomat. Dengan penerangan lampu jalan –tepat di atas kepala keduanya, Trevi bisa menyaksikan merah wajah Malam. Hasrat berbuat iseng Trevi muncul begitu saja dan dia memulai serangan kelitik pada Malam agar Malam mengaku. Tawa riang keluar dari mulut Trevi –tapi tidak dengan Malam. Wajahnya mencoba menahan tawa dan ingin seserius mungkin. Malam diam; memandang wajah Trevi dengan sonar kagum; merogoh sakunya untuk mengeluarkan sesuatu; dan berpikir menyusun kata-kata puitis.

Trevi menyadari sesuatu yang serius dari sorot mata Malam –meskipun wajah memerah, Malam tetap berusaha menarik simpul serius di wajahnya.

“Trevi…kamu pernah bilang, kan. Hidup selayaknya penuh kejutan meskipun sudah selama ini.”, Malam diam sejenak.

“So ?”, Trevi mengembangkan senyuman heran –Malam terlalu berbeda malam ini.

“Aku punya kejutan untukmu meskipun kita sudah selama tujuh tahun bersama.”, Malam merogoh semakin dalam saku celananya dan mengeluarkan sekotak merah.

Mata Trevi terbelalak. Dia tahu dan mengerti apa isi di dalam kotak itu. Perempuan mana yang tidak tahu isi dari kotak yang melambangkan ‘Sesuatu-Yang-Berharga’ itu. Perempuan mana pula yang tidak terkejut mendapatkan kotak tersebut dari orang yang paling berharga di hidupnya. Tangan kiri Malam memegang kotak pada bagian bawahnya. Sementara tangan kanan Malam berada di bagian atas –untuk membuka kotak itu dan menunjukkan isinya. Trevi hanya bisa menarik nafas panjang dan menunggu kotak itu terbuka dan menampilkan pemandangan menyilaukan dan mengagumkan.

“ I wish upon tonight to see your smile with this circle on your ring finger…”, Malam membuka penutup kotak tersebut dan menampilkan isinya –cincin perkawinan berwarna keemasan.

“Maukah kamu menikah denganku ?”.

Pada saat yang bersamaan, angin dingin tampak bukan lagi seperti pedang yang menusuk-nusuk. Angin yang berhembus malah menyelimuti mereka dengan kehangatan. Lampu penerangan di atas kepala mereka justru menambah efek romantisme. Ada alunan-alunan orkes jalanan di ujung tikungan beberapa puluh meter dari tempat mereka berdiri yang melantunkan lagu-lagu romantis ala Liszt atau Mozart. Di samping mereka adalah aliran sungai dengan kanal-kanal yang sunyi. Air sungai memantulkan cahaya-cahaya bangunan yang berbaris di pinggirnya. Yang menambah suasana semakin mendalam adalah permainan lampu di Church of Our Lady yang menakjubkan. Barisan toko yang menunjukkan kehebatan Thomas Alfa Edison sebagai penemu lampu pijar juga tampaknya menjamin suasana khidmat. Jadi, suasana lamaran itu sudah sangat mendukung.

“Tapi, kamu…aku…”, Trevi gugup.

Mulutnya terbata-bata –kaku. Matanya mondar-mandir dari wajah Malam, kotak cincin, wajah Malam, kotak cincin, dan seterusnya. Tubuhnya seperti mendapatkan tamparan yang menyegarkan. Trevi menyadari bahwa masih ada yang mengganjal diantara mereka berdua. Agama.

Trevi seorang kristiani dan Malam seorang muslim. Itulah apa yang dimaksud pada awal pernyataan bahwa mereka melakukan suatu hubungan seolah tak pernah ada perbedaan di hidup mereka. Perang keyakinan tampaknya masih menjadi gejolak batin masing-masing. Mereka tidak membayangkan bahwa mereka akan bertahan selama ini –bahkan tanpa disetujui oleh kedua orang tua masing-masing pihak.

“Ya. Aku tahu itu…dan tidak mungkin ada salah satu dari kita yang bisa berpaling. Bahkan untuk mengajakmu saja masuk ke kehidupanku tampak seperti hal yang mustahil. Sama sepertimu mengajakku. Tapi, aku selalu merasakan damai bersamamu. Aku terlalu terbiasa hidup denganmu. Dan mungkin, kamu juga merasakan yang sama. Kita sudah terbiasa hidup bersama-sama, Trevi.”.

Trevi diam. Matanya memandang mata Malam dengan tatapan berkaca-kaca. Haru; Trevi merasakannya. Kecewa; apa mungkin Trevi merasakannya ? Perasaan-perasaan yang menunjukkan kebahagiaan adalah apa yang dirasakan Trevi saat ini. Dia ingin sekali mengenakan cincin itu di jari manisnya. Perempuan mana di dunia ini yang tidak ingin menikah; bahkan seorang workaholic seperti Trevi. Dia masih terdiam, sementara Malam menunggu dalam harap-harap cemas. Keduanya terpaku tepat pada saat salju pertama turun di atas mereka. Malam bersalju pertama di belahan bumi bagian utara Eropa.

            Trevi menyumbang banyak hal dalam hidup Malam. Dia sebagai salah satu muse yang dikirimkan pada Malam. Trevi yang membuat senyuman di wajah Malam selalu berkembang. Malam hampir-hampir tidak bisa menangis karena Trevi. Air mata seolah enggan keluar sekalipun rasa sakit membakarnya. Emosi labil tampak seperti ayunan saja bagi Trevi; mudah dikontrol semaunya –dan gaya itu menular pada Malam. Masa lalu yang kelam bagi Malam dibuyarkan oleh statements Trevi; jangan terlalu sering menoleh ke belakang, jika kita berjalan ke depan. Trevi benar-benar mengontrol emosi Malam; dengan wajahnya, senyumnya, pelukannya. Malam juga akhirnya mengerti bahwa kekagumannya pada Trevi sangat beralasan. Saat Malam memainkan barisan tuts; mengubahnya menjadi nada-nada lembut, atau memainkan kolom enam senar; mengubahnya menjadi petikan-petikan mendayu-dayu, Trevi adalah teman dan rekan sejatinya; menuangkan gesekan empat dawai berjembatan indah ke dalam nada-nada residu yang sengaja ditinggalkan Malam. Paradigma yang muncul di otak orang-orang, Malam berubah seratus delapan puluh derajat karena Trevi mengubah seratus delapan puluh derajat hidupnya. Secara a priori, memang Malam berubah, tapi dia berubah terlalu banyak –hingga Malam tidak mengerti lagi, apa yang sebenarnya dia rasakan pada Trevi. Sebuah ketergantungan atau perasaan yang menyelimuti dengan keindahan. Malam pun jadi kebal dengan perbedaan hakiki yang mencampur dalam hubungannya dengan Trevi. Perbedaan prinsip dan keyakinan yang tidak bisa lagi dikatakan berbeda tipis –perbedaannya terlalu menjurang. Trevi sendiri adalah Katolik yang taat, sementara Malam, meskipun Islam di lidah saja, dia tidak sampai hati menggadaikan agamanya sendiri. Perbedaan inilah yang menjadi alas dasar bagi kedua orang tua dari kedua belah pihak menyatakan bahwa hubungan mereka terlarang. Mereka berdua pun sepakat melarikan diri dari kenyataan dan meninggalkan permusuhan hebat diantara dua keluarga tersebut di Jakarta. Meskipun kesepakatan tersebut diambil, tetaplah perbedaan menjurang itu jadi suatu permasalahan pokok.  Mereka berdua tidak sanggup meninggalkan apa-apa yang sudah absolut mereka yakini.

            Malam memandang kedua bola mata Trevi. Coklat –persis miliknya. Trevi sebaliknya; memandang kedua bola mata Malam; menerka pancaran yang disinarkan keduanya. Mereka berdua masih berdiri terpaku di bawah sinaran lampu jalan dan sudah hampir enam menit empat belas detik mereka terpaku. Hanya satu pikiran di otak keduanya. Malam ingin sekali mendengar jawaban iya. Sementara Trevi ingin sekali memberikan jawaban iya. Tapi, sekali lagi, perbedaan ini begitu mengombang-ambingkan keduanya. Malam memiliki keinginan untuk mendobrak sejarah hidupnya. Dia membuka matanya lebar-lebar dan menginginkan perbedaan yang berposisi dasar itu bukan menjadi alasan hambatan. Malam sudah melakukannya –meskipun masih dengan keraguan menumpuk di otaknya, setidaknya dia sudah mencoba. Sekarang giliran Trevi yang menganalisa jalan hidupnya sendiri. Malam sudah menyerahkan semua jawaban pada Trevi dan Trevi adalah hakim pada malam pertama musim salju di belahan Eropa bagian utara itu.

Dalam doa kami memang berbeda. Aku menyebut-Nya dengan Bapa; kamu menyebut-Nya Allah. Aku mengepalkan kedua tangan seperti ini; kamu membuka kedua tanganmu seperti ini. Aku menunduk dan memejamkan kedua mata –takut menyaksikan-Nya; kamu menengadahkan kepalamu dan membuka kedua mata –berharap menyaksikan-Nya. Aku dalam doa meminta kasih dan mengucap syukur; kamu dalam doa mengisyaratkan cinta, syukur dan permohonan. Apa lagi yang berbeda ?
Dalam ibadah kami juga berbeda. Aku menaungkan diri dalam lindungan Tuhan di dalam gereja; kamu bersujud untuk Allah di bawah kubah masjid. Aku melantunkan doa-doa seindah lantunan para Muse dalam ibadahku; kamu memiliki tata cara beribadah sendiri yang melambangkan suatu kesetiaan indah antara manusia dan Tuhan. Lalu, bagian mana lagi yang berbeda ?
Apakah ajaran kami yang berbeda ?
Baiklah. Kupaparkan perbedaan.
Tuhanku adalah Tuhan Yesus; kamu Allah Subhannawata’ala. Aku melambangkan kesetiaanku dalam bentuk salib; kamu menyimbolkan dirimu sebagai bulan dan bintang. Nabiku menjadi Tuhanku; nabimu bukan tuhanmu, tapi berdiri sebagai utusan Tuhanmu. Kitabku adalah Injil; kamu adalah Al-Qur’an. Rasulku ada dua belas murid Yesus; rasulmu ada dua puluh lima yang dikenal. Mungkin dalam ajaran agamaku tidak mengenal Islam; kamu mengenal dan mengakui keberadaan agamaku sebagai umat Nasrani. Jadi, apakah ini yang menjadi perbedaan mendasar kami ? Haruskah ada pemaksaan keyakinan di dunia ini ? Apakah aku harus Islam untuk bersamamu, Malam ? Ataukah kamu harus Katolik untuk bersamaku, Malam ? Ataukah memang kami salah dan kami harus berpisah karenanya ?

Itulah kalimat yang Trevi ungkapkan pada saat hari persidangan dua keluarga. Dia berurai air mata saat mengungkapkannya. Tangisannya menguak perasaan sebenarnya Trevi pada Malam. Beda mulai menjadi topik. Terlihat perbedaan yang mencolok antara kedua keluarga. Kedua orang tua Trevi yang lebih banyak diam, sedangkan Trevi berkoar; sementara kedua orang tua Malam yang lebih banyak bicara keras, sedangkan Malam lebih banyak mengelus dada dan diam. Berdasarkan hasil persidangan itu, kedua keluarga tetap bersikukuh dengan pendirian mereka. Alhasil, Malam merencanakan suatu pelarian yang dahsyat bersama Trevi. Pada umur sembilan belas tahun, mereka berdua melepaskan seluruh kehidupannya di Jakarta; keluarga, kuliah dan masa depan. Mereka terbang ke kota itu; kota di belahan utara Eropa; kota penuh keindahan kehidupan yang tenang. Mereka hanya bermodalkan uang dalam jumlah lumayan besar dan kenalan Trevi sesama model di majalah Belle, sampai akhirnya enam tahun lebih mereka hidup disana; dengan kehidupan serba baru dan aroma embun sekat perbedaan yang menipis –meskipun akhirnya embun sekat perbedaan itu menebal kembali ketika ikrar janji diminta disebutkan.

            Masih berdiri, Trevi dan Malam; tanpa hasil. Mereka memang bisa berdiri lama tanpa bicara; hanya saling pandang. Mereka sering melakukannya. Menikmati keindahan masing-masing dengan sentuhan magis bernama sayang. Lama sekali mereka dalam kebisuan. Tidak ada jawaban dari mulut Trevi; tidak ada pula dorongan untuk menjawab dari mulut Malam. Semuanya hanya didasarkan pada pemikiran yang memuncak pada akhirnya, muncul satu putusan dari sang hakim. Ini sudah memakan waktu sepuluh menit lima detik

Ya Allah, bukan pembangkangan yang hamba lakukan ini tanpa pemikiran. Tapi, Kau Maha Pencipta. Dan Kau-lah yang menciptakan rasa sayang pada Trevi selama ini. Kau-lah yang menumbuhkan perasaan ini. Aku harap apa yang kurasakan ini bukanlah hawa nafsu; karena sejujurnya, antara hawa nafsu dan perasaan manusia itu berbeda tipis –setipis selaput membran pada sekat jantung.
 Bapa di surga, Kau memberikan cinta di dasar hati ini tanpa sedikit pun memiliki kesalahan. Apakah memang salah jika aku mencintai Malam ? Jika memang demikian, biarkan aku menorehkan sedikit keyakinanku untuk hidup bersamanya dalam pelukan kasih yang Kau elukan.
 Ya Allah, biarkanlah keputusan ini menjadi murka-Mu padaku. Biarkanlah keputusan ini menjadi titik pertama api jahannam menyentuhku. Aku yang salah pada-Mu; aku yang berdosa pada-Mu; tapi, janganlah libatkan mereka yang berada di luar pemikiranku. Aku tidak percaya dengan hukum karma, tapi aku percaya Kau-lah Maha Berkehendak. Dan aku ikhlas menerima semua putusan-Mu, karena aku tidak ingin mengecewakan Trevi –meskipun harus mengecewakan-Mu dan orang lain.
 Bapa di surga, aku tidaklah lari dari kenyataan. Aku tidaklah menghindari sebuah masalah. Aku juga tidaklah menyingkirkan diri-Mu dari hidupku. Tapi aku hanya mengambil sebuah keputusan yang salah menurut mereka –namun sebuah keputusan yang benar menurutku. Biarkan aku dan Malam berjuang menembus sekat tipis perbedaan sebuah keyakinan tanpa intervensi. Aku ingin bersama Malam; itulah keputusan yang kubuat. Dan pesawat ini akan membawaku ke dalam perubahan besar antara aku dan Malam.
 Aku mohon dengan sangat, Ya Allah. Ampunilah semua dosaku atas semua ini. Ampunilah aku.
 Aku mohon ampunan-Mu, Tuhan.
 Robbana’atina fid dunya khasannah wa fil ‘akhiroti khasanah wa kinna adzabannaar
 Demi Bapa, putra dan Roh Kudus
 Amin yaa robbal ‘alamiin
 Amiin.

Doa itu dilantunkan bersama-sama saat keduanya berada dalam pesawat Lufthansa yang baru lepas landas. Keduanya duduk bersebelahan di kelas ekonomi dengan perasaan was-was. Tangan Trevi dikepal, sementara Malam menggenggam lengan Trevi keras-keras. Doa mereka disudahi dengan tolehan kepala mereka masing-masing; saling memandang dengan senyuman terlekat di wajah mereka. Entah bahagia atau keraguan yang melintas di otak mereka; tapi, yang pasti, mereka berdua berada di ketinggian sepuluh ribu kaki hanya untuk meninggalkan kehidupan di masa lalunya dan tidak akan menoleh lagi ke belakang.

            Benar-benar peristiwa yang memakan waktu lama. Tidak ada jawaban yang meluncur keluar dari mulut Trevi; tambahan, tidak ada pertanyaan lain yang mendorong dari mulut Malam, selama dua belas menit tiga puluh satu detik itu. Mereka berdua benar-benar terpaku di bawah pancaran sinar lampu jalan –tanpa sekalipun mengacuhkan orang-orang yang lalu lalang dan memerhatikan keduanya dengan tatapan heran; kagum; penasaran; dan perasaan lainnya yang menunjukkan ketertarikan mereka. Siapa yang tidak akan tertarik melihat sepasang muda-mudi apalagi berwajah Indonesia-tis, sedang dalam posisi sebuah lamaran. Si laki-laki menunjukkan cincin emas ke hadapan si perempuan dan menunggu jawaban darinya. Sementara si perempuan hanya bisa memandangi laki-laki di hadapannya dengan perasaan bingung; sekaligus takjub. Entah hanya sebuah khayalan atau memang sebenarnya orkes jalanan di ujung jalan itu berpindah tempat ‘main’; tapi, suara gesekan biola dan alunan flute terdengar sangat dekat dan mencacah hati Trevi dan Malam. Mereka berdua semakin tenggelam dalam suasana yang romantis. Hanyut dalam taktik peri cinta. Dan pelan-pelan jatuh melayang di lubang hasrat tak berdasar seorang manusia.

Aku dan Trevi pernah memiliki kesimpulan dalam suatu perbincangan di kafe bandara –ketika kami baru menjejakkan kaki di kota ini. Suasana ketika kami sampai di kota ini; suasana dingin menyambut kami dengan salju turun bergemerlap di luar kafe. Aku memesan Melange Coffee dengan ekstra frothy milk, sementara Trevi memesan Fiaker mocha yang disajikan bersama segelas brandy. Alunan Solo por Ti terdengar mengindahkan arsitektur kafe yang bernuansa Romawi. Suasana sangat menghangatkan pembicaraanku dengan Trevi hingga kami berkesimpulan.
“Tuhan; Allah tidak menciptakan cinta untuk memisahkan kita. Sampai detik kita kehilangan makna tentang nafas, sampai itu pula aku dan kamu akan selalu mencintai. Karena Tuhan; Allah, kita bertemu. Karena Tuhan; Allah, kita saling mencintai. Karena Tuhan; Allah, aku dan kamu saling terbiasa. Karena Tuhan; Allah, aku dan kamu tetap bersama-sama. Karena Tuhan; Allah, kita; aku dan kamu menampikkan usia, hidup mandiri berdua di kota ini –kota di belahan Eropa bagian utara yang mana, mungkin tidak seorang pun di Jakarta mengetahuinya. Kita sekarang berada di kota cinta yang diselimuti kabut tebal setiap bulan Desember. Kita pun ada disini karena dua hal; tekad dan nekat.”

“Kamu lagi gak bercanda, kan, Malam ?”, kebisuan pecah dengan pertanyaan yang dilontarkan Trevi –rupanya waktu yang dimakan hampir lima belas menit itu, masih membuat Trevi bingung.

“Apa aku terlihat seperti sedang bercanda ? ”, Malam balik bertanya.

Trevi dan Malam kembali diselimuti kebisuan sejenak. Pandangan mata mereka tidak berpindah satu sama lainnya. Saling mengagumi dan saling bertanya.

“Sekali lagi, aku mau tanya…maukah kamu menikah denganku ?”.

Trevi masih diam; tidak mau bicara sepatah kata pun. Tampaknya dia ragu dengan ketidakyakinannya.

“Meskipun ada perbedaan yang hakiki diantara kita ?”, Trevi melontarkan pertanyaan balik.

“Ada perbedaan yang bisa kita persatukan dan ada perbedaan yang tidak. Antara kamu dan aku, tidak ada perbedaan yang hakiki. Kita insan yang sama. Son of Adam and Eve.”.

Malam mencoba meyakinkan Trevi; yang diakhiri dengan senyuman manis di sela-sela kebingungannya. Trevi menganggukkan kepalanya sambil menerima kotak yang diberikan Malam. Cincin emas itupun disematkan di jari manis Trevi –menandai perikatan jasmani dan rohani.

Allah menciptakan sebuah layar yang berbeda antara aku dan Trevi. Aku di layar perpotongan antara layar satu dengan lainnya, sementara Trevi berada di layar yang tidak seluruhnya menampilkan wajah manisnya. Dengan jawabannya, sekarang aku dan Trevi berada di layar yang sama. Aku dan Trevi berada di layar ‘Aku dan Trevi’; bukan di layar versiku atau layar versi Trevi. Aku dan Trevi menjadikan semua perbedaan terlihat mudah untuk disatukan. Tapi, dengan perjuangan yang cukup panjang dan memakan sesuatu yang tak bisa diulang; waktu.