I grew up in this town, my poetry was born between the hill and the river, it took its voice from the rain, and like the timber, it steeped itself in the forests. -Pablo Neruda

Minggu, 29 Mei 2011

Alter Ego


Lungarno Diaz, 23 Oktober
00:00 A.M.

“Happy birthday for yourself, Russo!”
*Memejamkan mata*
“Bahahaha…kamu mengucapkan selamat ulang tahun pada diri sendiri? That’s the funniest thing that I ever know about you, friend!”
“Shut up, Fla! I think that’s not your bussines!”
“So, you’re alone, huh? Jangan disembunyikan terlalu dalam rasa kesendirianmu itu. Contohlah aku, my bro! I have more friends than you…I’m exist! Ketika kamu di Jakarta, yang kamu inginkan hanyalah melarikan diri dari kehidupanmu yang memuakkan itu, isn’t right?”
*Senyum-senyum*
“Jangan sok tahu kamu, Fla! Urus saja urusanmu sendiri!”
“Your bussines is my bussines, dumb-dumb! Let me take your place and I’ll make you more impressive –eh, tapi kamu tidak impresif sama sekali sejak dulu–“
“Fla! Stop talking on my mind! Go away, please!”
“Baiklah…tapi, aku akan ingatkan padamu. Kemarin kita lihat bersama-sama wajah menyenangkan yang haus seks di Via Ghibellina. Maybe you should try her?”
“Enough!!”
Lungarno Diaz, 23 Oktober
10:10 A.M.

“Aku sering bertanya pada diriku pribadi. Dunia inikah yang terlalu sempit atau memang Tuhan tidak mengijinkan aku dan dirinya berpisah jauh? Enam tahun tampaknya aku belum cukup untuk melupakannya. Jakarta sudah jauh dari pandanganku sekarang, tapi apa ini memang konsep Tuhan?”
*geleng-geleng kepala*
“Dunia ini memang sempit, Russo. Kalau saja dihubungkan dengan jari-jemari Tuhan hanya seinchi antara ibu jari dan telunjuk. Dia mungkin tidak menyadari keberadaanmu, tapi kamu melihatnya kemarin di Via Ghibellina memang tanpa diketahuinya. Ini konsep Tuhan yang disebut dengan jodoh.”
“Semudah itukah kamu bilang ini jodoh, Layla?”
“Mudah karena aku kenal Tuhan dan mengetahui petunjuk-petunjuk-Nya.”
“Kalau memang benar dia adalah jodohku, Layla…seharusnya, aku dan dia sudah bersatu sejak dulu. Aku dan dia sudah merefleksikan cinta di setiap perbincangan kami. Aku dan dia tidak terpisahkan dan saling ketergantungan. Aku dan dia terbiasa bersama. Itulah jodoh, Layla! Apakah aku bodoh sehingga mengira aku tidak bisa mendefinisikan arti kata-katamu?”
“Bukan begitu maksudku, Russo! Ini hanya persoalan waktu…tinggal permasalahan waktu…”
“Iya…waktu yang tak pernah kunjung memberiku kesempatan. Sudahlah, Layla…aku rasa cukup untuk hari ini…kamu juga datang sama seperti Fla.”
“Maafkan aku, Russo. Aku hanya mencoba menghiburmu dengan ketenangan yang biasa aku banggakan pada orang-orang.”
“Yaa…thanks a bit!”
Lungarno delle Grazie, 23 Oktober
08:19 P.M.

“Aku tidak pernah menyangka bisa menemuimu di sini, Nadesha. Apa yang aku lakukan dalam kesempatan sekarang ini adalah mencoba menceritakan tentang teman-temanku yang kamu kenal. Fla adalah seorang pria yang keras kepala dan modern. Dia sering bertindak seenaknya dan menganggap dirinya eksis. Dulu, dia adalah ketua geng di sekolahnya. Pengikutnya banyak dan dia sangat dihormati. Tapi, dia menganggap semua perempuan adalah pemuas nafsunya. Aku tidak suka itu. Lain halnya dengan Fla, Layla adalah perempuan yang baik. Dia adalah seorang sahabat untukku karena sering mendengarkan keluh-kesahku. Yang kusuka darinya adalah dia sangat perhatian padaku. Tapi, semakin lama dia menasehatiku, seolah dia ingin menggantikan otakku dengan otaknya. Permainannya adalah mencuci otakku. Beda hal antara Fla dan Layla adalah sifat dan sikapnya, lain pula dengan Igor dan Respati. Yang kukenal tentang Igor, dia tidak banyak bicara, jenius dan menyeramkan. Igor itu adalah pembunuh berdarah dingin dan pemerkosa. Tapi, bagiku, dia hanya sedikit lebih freak dibandingkan Jack The Ripper. Sementara Respati hanyalah seorang anak kecil yang terobsesi untuk melakukan bunuh diri dan sangat temperamental sehingga mudah merusak apapun yang ada di sampingnya. Igor dan Respati hanya akan datang kepadaku ketika aku dalam keadaan tidak sadar.”
(Russo lebih baik kita duduk di kafe dan memesan beberapa tagliata atau ribollita. Aku butuh makan malam.)
“As you wish, Nadesha.”

Ki-Ka : Layla-Igor-Fla


Lungarno della Zecca Vecchia, 23 Oktober
08:58 P.M.

“Nadesha, why we always have the together’s-time? Is that means we’re always collided?”
(Russo…I don’t want to talk about that anymore. Now, please, take your seat and tell me what’re you thinking of. And maybe I’ll help you to fix that’s.)
*memesan ribollita dan panzanella*
“Aku tidak ingin membicarakan apapun yang aku pikirkan kecuali kamu, Nadesha. Sumpah! Ini mengherankan…kalau kamu menyadarinya dan peka terhadapnya! Ini mengherankan!”
(Apanya yang mengherankan?)
“Aku sudah pindah kota enam kali dan keenamnya aku dan kamu selalu bertemu. Beijing, Mecca, Alexandria, Warsaw, Bruges dan terakhir, disinilah kita bertemu. Florence. Apa sekarang kamu menyadarinya? Cukup mengherankan bukan?”
(…)
*diam membisu*
“Aku tidak akan memaksamu untuk menyadarinya…tapi, yang pasti aku bisa bersyukur, kamu tidak ubahnya seperti dulu. Sangat menyenangkan.”
(Bisakah kita tidak melanjutkan pembicaraan ini? Aku mau pulang saja.)
*menunduk sedih dan terisak*
“After our meals served, I’ll take you to your hotel, Nadesha. We’ll have lot of conversations.”
*mengangguk dengan kepala tertunduk*
Via de’ Tornabuoni, 23 Oktober
10:16 P.M.

“Love is talking about moments…and moments will give you a choice.”
(But there’s no choice for you, Russo. I’ve engaged with Arezzo.)
 “Aku juga tahu itu, Nadesha. Tidak usah kamu mengulanginya terus berkali-kali.”
*tersenyum sinis*
(…)
*tersentak kaget dan setengah memekik*
“Hey, apa-apaan kamu, Igor? Lepaskan dia!”
“Try to be nice with someone whose hurted you?”
“Not like this!”
“Sudahlah…nikmati saja apa yang kulakukan untukmu, Russo.”
*terdengar suara pekikan lain yang menandakan suatu peristiwa memalukan*
“ENOUGH, IGOR! ENOUGH!!”
(…)
*menangis pilu*
“IGORR!! STOP IT!! STOP! STOP!”
*air mata mengalir deras di wajah dan tatapan kosong ke arah wajah yang menyesal*
“Now, you’ve had a better life, Russo!”
“I’ll kill you, Igor! I promise to myself! I’LL KILL YOU!!!”
Via de’Tornabuoni, 23 Oktober
11:03 P.M.

“Aku menyesal, Nadesha. Aku sangat menyesal! Aku tidak bisa melindungimu dari Igor…aku hanya seseorang yang lemah dalam segala hal.”
 (…lebih baik kamu pulang sekarang, Russo. Aku tidak mau lagi bertemu denganmu. Sudah cukup mengerti apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku.)
*isak tangis terdengar sesak*
“Aku mencintaimu, Nadesha. Aku sangat mencintaimu…tapi, aku sangat lemah. Aku tidak bisa melindungi diriku maupun dirimu dari Igor. Tapi, sumpah…aku tidak bersekongkol dengannya untuk melakukan hal nista seperti itu.”
 (PULANG KAU!! PULAAANG!!)
*memekik hebat*
“Tapi…”
(I’ll tell you once more! GO AWAY!! GO!!)
*memekik hebat*
Lungarno Diaz, 24 Oktober
00:05 A.M.

“Tuhan…apakah memang aku harus hidup seperti ini? Manusia yang lemah, tidak punya adab dan selalu mengucilkan diri dari lingkungan. Apa aku memang diciptakan untuk menjadi Russo yang sekarang? Sudah dua puluh empat tahun aku hidup…apa aku akan terus seperti ini? Apa aku akan terus menjadi manusia yang lemah, tidak punya adab dan selalu mengucilkan diri dari lingkungan? Apakah aku akan tetap menjadi Russo yang sekarang –yang nista dan tidak memiliki kehormatan di mata Nadesha–? Inikah takdir yang Engkau gariskan untuk seorang Russo? Sekarang aku percaya bahwa takdir tidak bisa dirubah…sekuat apapun kamu mengusahakan perubahan, maka kamu ibarat mendorong Tembok Berlin dengan tangan kosong. Mustahil! Dan kalau begitu, ini waktunya bagiku untuk meninggalkan hidup ini dan berganti menjadi seseorang yang diinginkan Tuhan. Akulah Russo yang lemah, tidak punya adab dan selalu mengucilkan diri dari lingkunga. I have no directions, reasons and friends anymore. I just have mine, Fla, Layla, Igor and Respati.”
*menunduk ke arah sungai Arno yang memanjang di Lungarno Diaz*
Via de’Tornabuoni, 24 Oktober
02:11 P.M.

“Nadesha! Nadesha!”
*setengah terengah-engah*
“Nadesha! Please, let me tell you something! You’ve knew that I have trouble…so, forgive me!”
(We don’t have any topics to discuss and I don’t want to talk with you.)
“But, let me tell you something! Please…this is for the last.”
*terengah-engah dengan pandangan yang penuh harap*
(…)
*diam sejenak dan menghentikan langkah*
“I’ll suicide.”
(What?)
*tersentak kaget dan membelalakkan matanya*
“Jah…aku akan bunuh diri. This is my last and only option.”
(Russo! Jangan kamu pikir dengan mengatakan kebohongan itu aku akan merasa iba padamu kemudian memaafkanmu. Jangan gunakan matamu itu untuk membunuh kesalahanmu yang kemarin! Lupakan saja kalau kamu berharap seperti itu!)
“I’m serious, Nadesha! Kamu pikir mudah melarikan diri dari semua permasalahan yang tidak ada pemecahannya ini? Lagipula Fla, Layla, Igor dan Respati akan ikut bersamaku sehingga tidak mungkin aku sendirian saat nanti.”
*tersenyum*
(…)
*mematung dan menghela nafas panjang*
“I have no more choices, Nadesha. Even you give me another choices, I don’t have anything to say.”
(Kamu tidak sedang membuatku mengasihanimu, bukan? Katakan bahwa semua itu tadi bohong, Russo! Kamu tidak serius untuk bunuh diri, bukan?)
“Aku serius.”
(Russo?)
“…”
*terdiam mematung*
(Russo? Kamu baik-baik saja, kan?)
“Sial! Buat apa kamu datang, Respati?”
“Aku tidak terima kalau ada orang yang meragukan keseriusanmu. Ayo bunuh dirilah!”
“Iya…aku akan melakukannya, tapi setelah ini. Tidak di depannya.”
“Bunuh diri bukan di hadapannya? Lalu, dia tetap meragukan perkataanmu? Seriuslah sedikit! Dia sudah meng-undersetimate-mu, Russo.”
“Shut up! Kamu hanya anak kecil! Diamlah dan terima saja apa yang aku putuskan!”
*berdesis keras*
“Jangan mengesampingkan aku, Russo! Aku memang hanya anak kecil…tapi aku bisa melakukan semua hal melebihi orang sedewasamu!”
“Sudah kukatakan padamu, Respati…terima saja apa yang aku putuskan! Jangan banyak bicara lagi!”
(Russo? Biar aku bawa kamu ke psikiater! Kamu butuh clozapine dosis tinggi.)
“Tidak usah, Nadesha. Sekarang aku mau pergi…”
(Russo…please. Aku tidak bisa membiarkanmu mati…aku maafkan perbuatanmu yang kemarin asal tidak kamu lakukan lagi. Aku tidak bisa melihatmu dan mendapat kabar mengenai kematianmu. Jujur, aku tidak bisa kehilangan teman…)
“Kamu tidak perlu melihatku dan mengetahui kabarku lagi. Biarkan aku menghilang seperti riak yang ditelan ombak pantai. Biarkan aku dan kamu menjadi sejarah kecil di masing-masing kehidupan. Dan…ijinkan aku untuk mencium keningmu untuk terakhir kalinya. Setelah itu, aku tidak akan pernah kembali ke dalam kehidupanmu –Tuhan tidak akan mempertemukanku denganmu lagi–, tidak akan pernah lagi.”
(Sudah diamlah, Russo! Jangan membuat seluruh hidupku dipenuhi rasa bersalah! Sekarang ikut denganku.)
*membelalakkan kedua mata*
“Tidak, Nadesha! Aku tidak akan ikut denganmu. Sudah terlalu lama aku hidup dalam bayangan imajinasi bersamamu. Aku tidak ingin menjalani seratus tahun kehidupanku yang lain dengan kecintaanku padamu. Cintaku akan selalu bertepuk sebelah tangan denganmu.”
(Russo…aku…jujur…aku…)
*tergagap-gagap dan menangis spontan*
“Aku tidak percaya waktu akan menghubungkanku denganmu suatu saat nanti. Aku lebih percaya, Tuhan tidak menakdirkanku untuk hidup bersamamu…Tuhan hanya menakdirkan bahwa aku mencintaimu.”
(…)
*terisak-isak*
“Terima kasih ya, atas semua bantuanmu selama ini. Dan maafkan aku tentang kejadian yang kemarin. Aku sangat mencintaimu…sungguh-sungguh mencintaimu. Bukan Fla atau Igor yang mencintaimu, tapi Russo.”
*mencium kening dan menyeka air mata*
“Love is talking about moments and moments will give you a choice. My choice is to be nothing with you at all.”
*tersenyum penuh makna*

Respati


Lungarno delle Grazie, 24 Oktober
10:23 P.M.

“Aku akan membungkam keeksisanmu, Fla. Lihat ini!”
“Sialan kamu, Russo!!”
“And for you, Layla…I ask you to lay upon the stars with me.”
“Thanks for ask me to do something with you, my saviour.”
“Kamu pikir aku lemah, Igor? Aku akan membunuhmu, jelek! Lihat saja! Kamu akan membayar semua yang kamu lakukan padaku selama ini! Lihat saja!”
“Brengsek kamu, Russo! Aku tidak akan membiarkanmu membunuhku!”
“And this is what you want, Respati. Hope you’ll happy with this.”
“My pleasure to see a death, Russo.”
Via Camillo Cavour, 25 Oktober
02:11 P.M.

Berita ini sudah menyebar ke seluruh Florence. Seseorang tenggelam di sungai Arno malam lalu. Saksi mata melihat bahwa pria itu bunuh diri dengan menenggelamkan dirinya ke sungai Arno. Koran-koran lokal memberitakannya dengan bahasa literasi yang berbumbu-bumbu dugaan. Dilihat dari kartu identitasnya, korban bunuh diri bernama Dennis Carusso Indravata asal Indonesia. Sejujurnya, Nadesha tidak ingin melihat dan mendengar berita ini, tapi topik hangat seluruh berita baik di media cetak maupun media elektronik selalu memberitakannya. Untuk mengusir rasa bersalah dan keingintahuannya, dia menelepon tunangannya, Arezzo.
“Arezzo…I need you to help my mind. I think I’m in love with Russo…”

“It just about time, Russo. I’ve told you everydays, Russo. It should be yours, Russo. I’ve told you…”
–Layla–

Sabtu, 28 Mei 2011

Leuvatien Celeborn Story

            Dia adalah penyair dari Utara Pegunungan Celebrus. Wajahnya tampan seperti rupa orang pegunungan pada umumnya. Dia hidup sebatang kara di rumah besar tidak terawat di Puncak Probatus –ketinggian 6000 meter dari permukaan laut–. Sekelilingnya selalu diselimuti salju abadi, tidak akan pernah cair, karena musim panas pun tampaknya enggan berkunjung di wilayah tinggi tersebut. Dari dua belas bulan kalender matahari, musim panas hanya datang dua bulan saja. Bulan dimana venus bergerak elegan menuju selatan bumi dan bulan dimana mars menampakkan corong hidungnya di langit timur bumi. Pada dua bulan itulah, dia selalu muncul di Legis Markt dan memborong banyak sekali bahan makanan. Di hari pertama bulan pertama musim panas, dia memborong banyak gandum, susu dan pisang. Hari kedelapan bulan pertama musim panas, dia kembali lagi untuk memborong berkubik-kubik kayu bakar dan banyak sekali ubi talas. Hari kesembilanbelas bulan pertama musim panas, dia memborong kembali gandum, susu dan jeruk. Hari keduapuluhlima bulan pertama musim panas, dia memborong banyak sapi dan domba serta bibit-bibit bunga dan sayuran.  Hari ketigapuluh bulan pertama musim panas, dia datang kembali ke Legis Markt dengan membawa segerobak buah pome dan satu buah khuldik –buah berwarna emas yang disebut sebagai pembawa malapetaka Adam olehnya–. Dia menukarkan seluruh pomenya dengan satu lembar kertas, sehelai bulu angsa dan sebotol kecil tinta hitam di toko kelontong miskin milik Tuan Otto. Selalu di toko kelontong berdinding kayu jelek milik Tuan Otto. Buah pome di Legis Markt adalah buah paling mahal harganya. Satu buah pome bisa dihargai hingga mencapai delapan keping emas. Tidak ada harga buah yang bisa mencapai delapan keping emas, karena yang mahal pun buah apel dihargai hanya satu keping emas saja. Tentu saja, toko kelontong tidak menjual buah-buahan. Tuan Otto pun selalu membagikannya secara cuma-cuma pada warga miskin lainnya yang sedang menderita penyakit. Buah pome dipercaya sebagai buah dewa yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit keras. Kalau pun buah pome itu tidak habis ketika dibagi, Tuan Otto selalu membagikannya lagi ke warga sekitar. Hal ini tentu saja menjadi daya tarik bagi pedagang-pedagang buah sehingga banyak pedagang buah yang meminta kepada Tuan Otto untuk kemudian dijual kembali oleh mereka dengan harga selangit. Mereka pun menjadi milyuner dadakan akibat menjual buah pome yang harganya meroket itu. Sedangkan untuk buah khuldik tersebut, Tuan Otto selalu memotongnya menjadi delapan bagian dan kedelapan bagian tersebut dimakannya bersama anggota keluarganya masing-masing dua bagian. Khasiat buah khuldik itu pun tidak ada. Hanya saja, tuan Otto dan keluarganya selalu hidup tenang dan damai. Mungkin memang khasiatnya seperti itu?
Pada hari pertama bulan kedua musim panas, penyair dari Utara Pegunungan Celebrus datang kembali ke Legis Markt dengan rutinitas yang sama seperti pada hari pertama bulan pertama musim panas. Bedanya, pada hari ketigapuluh bulan kedua musim panas, dia datang tidak membawa buah pome dan buah khuldik, akan tetapi membawa kembali satu lembar kertas yang selalu dimintanya dari Tuan Otto. Dan ini tulisannya,


Aku pernah menyaksikan sungai Tellumar dialiri darah kalian, para manusia
Aku juga pernah menyaksikan kota Turambar menjadi kota mati tanpa kehadiran kalian, para manusia
Percayalah, aku hanya seorang penyair dari Utara Pegunungan Celebrus
Aku hanya seorang penyair yang tinggal di kastil usang milik keluargaku di Puncak Probatus
Tapi, aku peduli pada kalian
Karena usiaku digantungkan pada keberadaan kalian di dunia ini.
Apakah ini akan terus terjadi di Ainar?
Kalian membuat sampah menjadi busuk di sungai-sungai kalian
Kalian membuat material berat mengalir hampa di udara yang kita hirup
Kalian membuat fenomena dan doktrin yang menjadikan kalian hidup layaknya barang pecah-belah
Kalian juga mengukir dunia ini dengan pahatan berkarat sehingga menyisakan goresan-goresan berpenyakit berat
Sebenarnya, apa tujuan kalian hidup di dunia ini?
Kalau kalian bisa melihatnya,
Langit Utara di Benua Amparca sudah berkerak hitam
Gunung Selatan di Daratan Helca mulai menguap
Samudera Barat di Delta Úrin mendadak berkohesi dengan minyak
Angin Surga Timur di Pegunungan Alatairë sedang bercampur dengan timbal hitam.
Oh, Ainar!
Dimanakah letak mata para manusia?
Dimanakah letak indera penglihatan mereka?
Aku lelah dan ingin kembali pada-Mu
Rutinitas peringatan ini sepertinya akan selalu kulakukan demi Ainar
Rutinitas yang hanya bisa kulakukan dalam dua musim panas setiap tahunnya.
Dan akulah, penyair dari Utara Pegunungan Celebrus dan Puncak Probatus,
Namaku Leuvatien Celeborn…
L


Hari ketigapuluh satu bulan kedua musim panas, Leuvatien Celeborn selalu mengucapkan pesan pada Tuan Otto, “Úrin sila ned lù o gevadel men.”. Tuan Otto tidak mengerti maksudnya…

The Story Behind You


“Kemarin aku lihat kamu di tengah keramaian. Apa benar itu kamu?”

(Setidaknya kamu mengenalku.)

“Lucunya, kamu bagai orang asing di depanku. Nice try to set me down, girl!”

(Tidak pernah terpikirkan olehku untuk membuatmu jatuh. Terlalu percaya diri...)

“Justru kamu yang terlalu percaya diri. Tidak bisakah kamu mengenal seseorang bukan dari sikap saja? Kamu terlalu dini menarik kesimpulan. Atau mungkin ada sesuatu yang menyuarakan tentangku?”

(...)
 
“Speechless? Hahaha...tidak perlu kamu merasa bimbang memberikan pendapatmu tentangku. Aneh!”

(Bisakah kita tidak membahas ini?)

“Kenapa? Kamu takut? Takut terbongkar apa yang ada di hatimu? Santai saja...”

(Sudahlah...aku ingin pergi saja.)

“Silakan! Tapi, jangan harap setelah pembicaraan ini, kamu bisa tidur tenang...”

(Kamu mengancamku?)

“Tidak...”

(Nadamu terdengar mengancam dan kata-katamu menunjukkannya pula!)

“Sudah kubilang...kamu terlalu cepat menilai seseorang...terlalu dini mengambil kesimpulan!”

(...)

“Diam lagi? Masih speechless dan tidak bisa mengakui kalau aku benar tentangmu?”

(Selamat sore!)

“Yaa...teruslah berlari dengan semua keegoisanmu itu. Nice run, baby!”

(...)

“Tidak jadi pergi? Terpatri dengan kata-kataku tadi?”

(...)

“Sebelum kamu berubah pikiran, biar aku ingatkan kamu lagi bagaimana pertama kali aku mengenalmu...aku akan singkap semua yang berada di baliknya. Karena kamu pun perlu tahu hal ini! Aku tidak ingin tertutup denganmu...would you like to listen my words?”

(Just a minute!)

“Hahaha...tidak akan bisa hitungan menit menampung seluruh kata-kataku...aku ini puitis dan oralis. Bisakah waktu menampung seluruh ceritaku? Bisakah kamu menjaminkan bahwa waktu menampung semua kata-kataku? Itulah kamu...membuat dirimu sendiri terjebak oleh waktu. Biarlah waktu merusak peribahasanya sendiri. Biarlah waktu yang mengikuti apa yang kita inginkan...bukan kita yang menginginkan waktu. Have a seat and I’ll tell you my stories! ”

(Sounds like you’re the God in here?)

“Don’t bother the God! I don’t believe the God!”

(Ateism!)

“Emm...darimana aku harus mulai? Oh, ya...di saat kita pertama kali berkenalan? Kamu tahu cerita di balik itu? Ada Tangan yang Tidak Mau Terlihat ikut campur dalam awal ini...awal untuk cerita yang singkat antara aku dan kamu.”

(Tangan yang Tidak Mau Terlihat?)

“Jangan bertanya dia siapa, yang pasti kamu akan mengenalnya dari ceritaku.”

(Baiklah.)

“Baik. Aku teruskan...sejujurnya saat itu aku sedang dalam masa transisi. Berusaha untuk melarikan diri dari hal yang memalukan. Bicaralah aku pada Tangan yang Tidak Mau Terlihat itu. Saat itulah, aku dan dia terpikir untuk mencari jalan keluar dalam melarikan hati ini. Aku menemukan wajahmu dari sekian banyak wajah perempuan yang berserakan di tempat itu. Sebenarnya lucu dan random sekali saat memilih wajahmu. Aku berpikir akan menyenangkan jika bisa melarikan diri dari hal yang memalukan itu. Tangan yang Tidak Mau Terlihat itu membantuku berkenalan denganmu. ‘Sudah kenal dengan Yura?’, begitu tanyanya. Kamu jawab, ‘Sudah...tapi Yura pasti belum kenal denganku.’. Jujur, aku takjub dengan jawabanmu itu seolah aku yang terkenal di matamu. ‘Yura.’, aku menjabat tanganmu. ‘Nada’, namamu itu membuatku teringat Arezzo, Bapak Solmisasi itu. Selanjutnya, hanya seperti itu saja. Menguap seperti air mendidih di dalam ketel yang tidak tertutup. Mengasap seperti hasil pembakaran. Mengabut seperti datangnya senja di Lembah Mandalawangi. Itu pertama kali aku berkenalan denganmu. Sounds like you’ve know whose the Hands-Who-Don’t-Want-to-be-Knowed? Haven’t you?”

(Yeah...sounds like...)

“Baik. Semuanya bermula dari pengaturan-pengaturan yang aku lakukan dengan sedikit campur tangan si Tangan yang Tidak Mau Terlihat. Tapi, sebelumnya lagi...aku tidak mau tertipu untuk kedua kalinya. I have one question at that time...i must know, are you have a boyfriend or a Boy-Whose-You-Like? Dan aku mengatur semuanya...aku tidak ingin tertipu kedua kalinya.”

(Kenapa diam?)

“Memberi kesempatan untukmu berpikir dan menebak, how do I know that you have a boyfriend or not?”

(Tidak semangat untuk berpikir. Cepatlah bercerita! You’re wasting my time!)

“Jika membuang-buang waktumu, untuk apa kamu ada disini sekarang? Pergilah dan bawa rasa penasaranmu itu sampai ke alam baka!”

(Loh? Kok, jadi kamu yang marah?)

“Pantas aku marah! Sikapmu menjengkelkan! Not like you at that time!”

(...)

“Speechless lagi? Atau merasa tidak enak hati?”

(Lanjutkan saja ceritamu. Tidak usah diperpanjang lagi.)

“Aku lanjutkan! Dan berusahalah menjadi pendengar yang baik!”

(Yap.)

“Kamu yang paling awal membuat semuanya berjalan menyenangkan. Menyapaku lebih dulu. Membuatku lebih merasa dianggap. Kamu yang awal membuat aku percaya kalau masih ada wajah yang menyenangkan untuk dibersamakan. Aku tidak bisa dibuat seperti itu. Aku sama sepertimu, terlalu cepat menilai. Tapi, bedanya, aku menilai dan menjadikannya hanya anggapan saja, bagai angin levanter yang berlalu begitu saja dari Daratan Andalusia. Akhirnya, aku memantapkan diri untuk melarikan diri dari masa laluku. Aku membuat rencana bersama Tangan yang Tidak Mau Terlihat itu. Ingat saat aku dan Tangan yang Tidak Mau Terlihat itu mengantarmu pulang? Tidakkah kamu menyangka itu adalah rencana? Yaa, mungkin kamu tahu setelahnya...tapi, aku hanya memastikannya saja. Kamu ingat kan, betapa lugunya kamu hingga terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan yang aku atur. Kamu menceritakan bagaimana keadaan hatimu dan kehidupanmu. Hahaha...pada saat itu, aku sadar kamu menyenangkan. And you said, you happy with your single life. And you know, at that time...I feel lucky. Setelah itu...semuanya aku atur lagi. Aku harus mendapatkanmu...begitu pikirku saat itu! Keesokannya, kamu ingat kalau aku dan kamu pulang bersama? Disanalah kamu terlihat lebih menyenangkan. Sangat menyenangkan. Kamu seolah sangat mudah diajak berbicara. Tidak seperti komunikasi tanpa lanjutan. Kita banyak berbicara panjang lebar. Memperlihatkan padaku betapa menariknya dirimu, keluargamu. Menunjukkan warna kesukaanmu. Mengesankan bahwa dirimu membuat dunia ini merasa lebih terang setelah kesuramanku. Perlahan tapi pasti, kamu menancapkan kuku-kuku tajammu di bagian kiri tubuhku. Aku merasa dicengkeram oleh wajah menyenangkanmu dan sensasi yang kurasakan adalah tenang dan lucu. Setelah itu, aku tidak mengerti lagi. Keesokan harinya semua masih menyenangkan. Tapi, pulang bersamamu untuk kedua kalinya...aku merasa aneh. Aku merasa ada yang mengganjal. Konversasi terasa sangat kaku dan tidak komunikatif. Aku berusaha menarik panjang lebar topik-topik yang menarik tapi kamu membuatnya menjadi lebih aneh daripada lukisan abstrak tak berbentuk di Museum Louvre. Sumpah! Duduk bersamamu saat itu terasa seperti dalam neraka ribuan tahun! Sangat kaku dan aku tidak mengerti selanjutnya! Yang terjadi selanjutnya, kamu menjadi seolah orang asing, dingin dan seolah aku ini barang kotor di dalam tempat sampah di matamu! Aku bisa menyadarinya, tapi bukan berarti aku sensitif. Bisakah kamu jelaskan padaku?”

(...)

“Hey...aku belum sama sekali menaruh hati padamu. Untuk apa menjauh? Prinsipku adalah I believe what I want to believe! Kalau aku belum percaya dengan apa yang aku inginkan untuk dipercaya, aku tahu bagaimana seharusnya bersikap. Kamu sama seperti teman-teman wanitaku yang lain, tapi sedikit mendapat perhatian lebih dariku! Kalau kamu ingin tahu bagaimana aku bisa menyukai seorang perempuan, bisa aku ceritakan!”

(Tidak perlu...aku rasa aku harus pulang sekarang.)

“Hahaha...pulanglah. Biar aku berbicara sendiri pada angin dan langit malam.”

(Baik. Bye...)

“Bye, Nada...fuuuh...”

(...)

“...”

(...)

“...”

(...)

“...”

(I need some rest.)

You must…

(We have...actually...I don’t have any feelings with you.)

“If you don’t have any feelings with me, just make it simple. My life still go on even without you...I just ask you to make it simple.”

(I make it simple as you must to do.)

“You can’t make what I must to do! What I must to do is what I want to do!”

(...)

“Go out and enjoy you rest of time! Your life will be changed and you’ll never find a word with my name in your life...I guarantee you. If there’s me in your life, like you’ve said...you make it simple as I must to do.”

(...)

“Oke, bye...”

(...)

“...”

(Yura...)

“...”

(Yura...)

“...”

(Yura...)

“...”

-THEN THE STORY WAS ENDED-