I grew up in this town, my poetry was born between the hill and the river, it took its voice from the rain, and like the timber, it steeped itself in the forests. -Pablo Neruda

Senin, 07 September 2015

Parodi Jatuh Cinta

Seperti yang pernah aku katakan dulu,
Mencintai lebih indah daripada dicintai...

Ya, aku jatuh cinta untuk yang entah ke berapa kali...

Sekarang, dunia bak roda putar yang menggoda
Terkadang, ada banyak keindahan yang mengelabui
Namun, akan selalu indah meski kita sadari, kita dibohongi
Akan selalu seperti itu, karena memang sifat kebinatangan kita terlalu jenaka
Untuk kita hilangkan begitu saja...

Meskipun berulang kali aku jatuh cinta,
Polanya tetap sama dan berima bak pantun yang penuh kelakar

Mungkin bukan dengan wajah yang sama,
Tapi, tetap pada tema yang sama : dia yang menyenangkan...

Ah, tapi ini hanya parodi jatuh cinta sesaat
Tak usah dipermasalahkan karena aku jatuh cinta bukan pada masalah
Tapi, aku jatuh cinta pada tawa dan senyumnya saja

Jadi, bolehkah aku katakan padanya :
"Aku tak peduli either you loved me or not, tapi aku jatuh cinta padamu..."?

Minggu, 08 Maret 2015

Ketika Ada Di Atas Sana

Bentangan panorama hijau itu seperti memanggil-manggil jiwaku yang belia.

Di tengah rasa sakit yang mendera dengan takjubnya, aku masih bisa membayangkan betapa nikmatnya dipeluk lengan-lengan angin dingin dan sejuk puncak gunung berapi;

Bahagianya dimanja lumbung-lumbung hijau yang berbaur dan berpantul-pantulan dengan cahaya matahari yang pekat, baik fajar maupun senja;

Damainya dibuai nyanyian-nyanyian merdu semilir angin berpadu-padan dengan kicauan burung-burung yang mampu terbang setinggi di atas 1000 meter di atas permukaan laut dan kadang-kadang gesekan angin dengan rerumputan menjadi sensasi bunyi solmisasi tersendiri;

Aku rasa aku jatuh cinta pada alam dan ingin rasanya tenggelam bersamanya meski aku pesakitan dan tak punya raga lagi.

Aku ingin bersamamu, alam.

Tenggelam bersama keindahanmu, alam.

Sabtu, 02 Maret 2013

Pikiran-Pikiran Acak

Diantara beberapa rimbun kepala manusia di tengah jutaan etalase merk yang telanjang, saya baru saja tiba disana. Efek yang timbul tenggelam di kepala saya adalah perasaan aneh dan limbung, hmm...apakah ini yang namanya suatu rasa yang didapat karena suatu yang mendadak dilakukan? Saya ini hanya satu kepala yang ada diantara mereka yang berkacamata kuda. Celingak-celinguk, saya seperti kadal naga yang memeriksa sekeliling takut dimangsa, bedanya...saya celingak-celinguk karena perasaan saya sendiri yang bingung penuh pertanyaan : INI TEMPAT MACAM APA?

Ketika pikiran akhirnya terbiasa dengan guncangan pertanyaan dalam hati dan risalah nuansa sekitar, saya duduk di kursi ke-678 dari 1.200 kursi yang ada. Kedua mata masih tidak terbiasa dengan pemandangan yang direfleksikan. Indera pendengaran pun seakan terbungkam dengan banyaknya suara tak berfokus. Aah...nestapa akhirnya datang juga karena lapar dan tidak kunjung ada yang saya kenal disana. Ini hiperbola, tapi saya memang sedih kalau lapar.

Sementara perasaan bingung dan aneh perlahan meluntur, saya menyandarkan pemahaman otak saya pada nasehat "Tiap yang kalian lakukan, tertuang garis makna yang tidak mudah ditebak.". Ini memang suatu hal yang acak saya lakukan...tapi, saat garis makna itu tampil, saya kurang menyadarinya sehingga mungkin terlewatkan dan terabaikan. Yaa...saya tidak tahu makna dari apa yang saya lakukan secara acak itu...saya tidak mengerti juga dan saya tidak mau mengerti...karena saya terlalu pahit untuk mengetahui makna apa yang ada di balik apa yang saya lakukan ini...
Sepemahaman saya...keberadaan saya di tempat ini hanyalah suatu hal yang paling acak yang pernah lakukan...saya hanya mengetahui nama tempat ini dari bagaimana manusia-manusia mainstream itu menyebutnya...MALL!

-Sekian-