I grew up in this town, my poetry was born between the hill and the river, it took its voice from the rain, and like the timber, it steeped itself in the forests. -Pablo Neruda

Sabtu, 28 Mei 2011

GALE


            Aubrey membeku. Seluruh tubuhnya kaku. Bibirnya kelu. Kelopak matanya seolah tidak mau mengejap lagi; terbuka. Kulitnya memucat biru. Dia seperti berada di lemari es bersuhu dibawah 0º Celcius –padahal dia berada di ruangan besar berjudul ‘perpustakaan nasional’. Aubrey tidak sendirian. Steinways juga mengalami nasib serupa.
Steinways membeku. Seluruh tubuhnya kaku. Bibirnya kelu. Kelopak matanya seolah tidak mau mengejap lagi; terbuka. Kulitnya memucat biru. Dia seperti berada di lemari es bersuhu dibawah 0º Celcius.
Bola mata Steinways bergeser beberapa inchi dengan maksud melirik keadaan Aubrey. Mereka berdua hanya bisa merunduk beku. Kedua kaki dilipat ke balik selimut tebal. Sementara Aubrey menggunakan selimutnya, Steinways harus mati-matian menahan dingin yang bahkan menembus hingga lantai marmer. Atau keadaan terkadang berkebalikan. Aubrey menyerahkan selimut yang hanya dimiliki satu buah saja pada Steinways dan berganti posisi; ikut merasakan apa yang dirasakan Steinways.
            Perlahan tubuh Steinways yang tidak berselimut itu menggeser –semakin dekat dengan tubuh Aubrey yang payah. Dia berusaha menghangatkan dirinya dan diri Aubrey juga pada tujuan khususnya. Steinways tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk mengatasi udara dingin yang menusuk keduanya bertubi-tubi. Mereka berada di ruangan besar berdindingkan semen dan berlantaikan marmer. Pondasi-pondasi ruangan itu selayaknya pondasi istana raja-raja pada zaman Yunani Kuno. Ada pilar-pilar putih yang menjadi penyangga ruangan besar tersebut. Ada empat lampu gantung yang seharusnya menyala di tengah kegelapan itu. Rak-rak buku seolah sudah kosong melompong karena tidak ada lagi buku yang tersisa. Di tengah ruangan terdapat bekas perapian yang bersumber dari buku-buku yang dibakar. Sangat banyak asap memenuhi seisi ruangan ini sehingga terasa ruangan ini membuat sesak nafas. Yang sangat mengejutkan, banyak darah menjijikkan membeku dan tergenang di atas lantai. Tidak hanya itu, potongan-potongan daging manusia terlihat menjijikkan dan menebarkan bau anyir. Steinways dan Aubrey tidak memedulikannya lagi. Semuanya sudah berakhir sejak dua hari yang lalu. Yang mereka harapkan kini hanyalah mendapat pertolongan jika memang masih ada manusia di luar sana. Di luar dari kiamat ini…
“A…Aubrey.”, panggil Steinways dengan suara yang bergemeratak.
Kegelapan yang menyelimuti mereka diyakini Steinways sebagai tanda malam telah tiba.
“Hhh…”, hanya desahan nafas Aubrey yang terdengar pelan.
“Kamu yang kuat yaa…jangan sampai mati!”, Steinways memeluk Aubrey dengan dekapan yang sangat erat.
“Hhh…”, lagi-lagi, Aubrey menjawab hanya dengan desahan nafas saja.
Selimut yang menjadi penghangat satu-satunya itu membungkus Aubrey dengan sangat rapat. Tapi, angin dingin masih bisa menusuknya setiap detik. Steinways terus mencoba untuk menghangatkannya. Dia mencoba menggosokkan antar kedua telapak tangannya dengan harapan dapat menciptakan panas tubuh. Akan tetapi, dia gagal. Karena ketika digosokkan, Steinways sudah tidak bisa membedakan mana yang panas dan dingin. Dia mati rasa. Tapi, dia terus berusaha. Dia menempelkan kedua tangannya ke pipi Aubrey. Jika ekspresi wajah Aubrey tersenyum, itu berarti panas tubuhnya berhasil muncul. Sudah sejak delapan jam yang lalu, mata Aubrey tertutup dan belum membuka. Sudah sejak delapan jam yang lalu pula, mulut Aubrey bungkam –tidak ada suara yang keluar kecuali desahan nafas saja–. Tidak hanya itu, sejak delapan jam yang lalu pula, tubuh Aubrey tidak lagi gemetar, seperti beku. Steinways langsung memutar otaknya untuk terus memberikan kehangatan bagi Aubrey. Dia mencoba bergerak, namun semua tubuh tampaknya kaku dan tidak bisa digerakkan lagi. Dia berusaha merangkak, tapi lantai marmer ini terlalu dingin untuk dirayapi. Apalagi darah yang berceceran mungkin menambah sulit Steinways saat merangkak.
“Aubrey…dengar aku.”, Steinways mencoba mengajak Aubrey untuk terus sadar.
“Hhh…”.
“Ingat Monte Confirco? Yaa, disana hangat. Matahari bersinar sangat terik dan pantai pasir putihnya sangat indah dan airnya hangat. Kamu selalu menginginkan untuk berlibur kesana. Nah, jika kamu masih bertahan sampai bantuan datang, aku bersumpah dan berjanji akan membawamu kesana! Ingat, Aubrey! Aku janji…tapi, untuk itu…aku mohon, bertahanlah! Bantuan akan datang!”, Steinways berbicara dengan bibir yang kelu sehingga waktu yang diperlukannya mencapai delapan menit.
“Hhh…”.
“Eiya, kamu pernah mendengarkan Liebstraum karya Franz Liszt? Aku selalu mendengarkannya sambil duduk di sofa malas, berselonjor, di depan tungku perapian yang hangat, dan ditemani dengan Einspanner moccha yang hangat ditambah whipped cream di atasnya. Rasanya hangat sekali…kamu harus coba setelah ini semua selesai. Kamu mau kan?”,
“Hhh…”.
“Aubrey…Aubrey…kamu masih bisa kan, bertahan? Setidaknya sampai bantuan datang?”,
“Hhh…”.
Steinways mendekatkan wajahnya ke wajah Aubrey. Dia menempelkan pipinya ke pelipis Aubrey. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Aubrey. Kedua nafas mereka saling beradu di kegelapan. Asap-asap putih menjadi sayap saat nafas dihembuskan.
“Hangat, bukan, Aubrey? Sampai kapanpun aku akan terus melindungi dan menghangatkanmu…sampai kapanpun tanpa terkecuali.”.
“Hhh…”.
Mereka berdua tetap dalam posisi bergumul seperti itu dan tertidur lelap.
            Mata Steinways terbuka lebar. Dia tidak lagi mampu membedakan mana siang dan malam, karena semua jendela tertutup salju tebal yang menenggelamkan perpustakaan. Bau anyir masih tercium menyengat di rongga-rongga hidung Steinways. Darah-darah menjijikkan terlihat seolah menjadi cat warna dasar bagi Steinways. Kanibalisme dua hari sebelumnya sudah berakhir dengan menyisakan wajah Steinways dan Aubrey sebagai yang bertahan. Mereka berdua melalui perjalanan panjang yang sangat berat dimana Steinways berusaha mati-matian melindungi Aubrey dari orang-orang barbar yang kelaparan. Yaa…terkurung di dalam salju tebal yang menenggelamkan perpustakaan berlantai dua tersebut selama satu bulan lebih tanpa persediaan makanan dan minuman, siapa yang bisa bertahan? Selama dua minggu belakangan ini, kanibalisme di dalam ‘neraka’ tersebut dimulai. Ada dua puluh empat orang termasuk Steinways dan Aubrey yang ada di dalam perpustakaan tersebut. Tidak mampu menahan rasa lapar yang menggelora dan sangat manusia itu satu per satu dari mereka mulai goyah. Dengan singkatnya, kedua puluh empat orang tersebut melakukan kanibalisme. Namun, yang hebatnya, Steinways dan Aubrey lah yang jadi pemenang yang paling beruntung. Mereka ibarat kain yang sudah tercelup ke dalam tinta, namun bisa dibersihkan kembali dengan mudahnya.
“Aku mengenalmu sudah delapan tahun, Aubrey…tidak mungkin bisa aku melupakanmu. Sekarang aku ada disini untuk membawamu keluar dari tempat ini, tapi nyatanya, aku sendiri tidak bisa membawamu. Di luar badai salju sudah sangat ganas, tidak seperti badai salju pada umumnya di Siberium. Perpustakaan ini satu-satunya tempat yang cukup membuat semuanya jelas. Membuat semuanya terlihat nyata di depanmu…aku mencintaimu, Aubrey…dan tidak ada sedikitpun perasaan lain yang mampu mengalahkannya. Tidak ada dan tidak akan pernah ada.”
Itu kata-kata yang keluar dari mulut Steinways dua hari yang lalu. Saat itu, mereka baru saja lolos dari pertarungan hidup dan mati dengan dua orang pengunjung yang sangat kelaparan. Steinways berhasil membunuh mereka berdua dan memakannya mentah-mentah. Aubrey yang saat itu bersembunyi di salah satu ruangan tidak mendapati pemandangan yang sangat menjijikkan tersebut. Dia tidak melihat seberapa beringasnya Steinways saat mengunyah daging-daging yang dipotong dan disayatnya dari tubuh kedua orang tersebut. Steinways terpaksa melakukannya karena rasa lapar sangat menyerangnya. Dia tidak bisa menahannya lagi. Ironis. Jadi, yang tersisa hanyalah Aubrey dan Steinways…


 …………………………………………………………………………………………………………………...
“Steinways…hhh…”,
“Yap?”,
“I’m freeze.”,
“Wanna me to find some books and make a pit?”,
“Nope. Just embrace me…don’t ever leave me alone!”.
“My pleasure…”.
…………………………………………………………………………………………………………………...
“Steinways…hhh…”,
“Yap?”,
“I’m sick and so hungry.”,
“What can I do for its?”,
“Help me to find foods but, I don’t want you to let me alone here…I’m so cold…”,
“But, how? I must go to find some medicine or something that we can eat together.”,
“I don’t know, Steinways…tapi, aku mohon jangan tinggalkan aku disini sendirian.”,
“Baiklah…maybe I’ll take you with me…hanya dengan cara ini aku bisa membawamu bersamaku…”,
“Tapi, pasti akan melelahkan. Bisakah kamu mencarinya di dekatku saja? Setidaknya sejauh mata aku memandang, aku masih bisa melihat kamu.”,
“Tidak apa, Aubrey. Dengan begini pun, kamu mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Pertama, kamu tetap bersamaku dan kedua, kamu tetap hangat.”,
“Good reasons, Steinways. Tapi, kamu sedang tidak berusaha membuatku merasakan apa yang kamu rasakan padaku, kan?”,
“Hahaha…setidaknya skor kita 2-1 dan aku masih menjadi pemenangnya.”,
“Hhh…and now, make it, three.”,
“Hahaha…you’re not easy to get.”,
“But, you still have the possibility. Aku seolah ditampar olehmu, Steinways. Hampir lima minggu yang lalu, kita melalui banyak hal. Kamu bak seorang pahlawan dalam setiap detik di dalam neraka es ini. Kamu datang ke Siberium di tengah salju mengamuk di luar perpustakaan ketika mendapat kabar aku ada disini. Kamu mencoba mencari jalan keluar dari tempat ini, meskipun gagal. Kamu terus melakukan apa yang aku tidak bisa lakukan, melindungiku, menjagaku dari tangan-tangan lapar zombie, apakah itu tidak cukup untuk menampar seorang perempuan normal sepertiku? Kalau aku tidak normal, mungkin biasa-biasa saja. Dan kamu menamparku bolak-balik.”
“Tidak…aku tidak sedikitpun mencoba untuk menamparmu. Aku juga tidak ingin membuatmu merasakan apa yang kurasakan dulu sampai sekarang. Aku tulus menolong seseorang yang sangat berharga dalam hidupku. Aubrey…tidak sehelai rambut pun aku melupakanmu. Aku sangat-sangat mencintaimu…dan tidak akan pernah lagi merasakan pada perempuan lain dengan rasa yang sehebat ini. Tidak akan pernah lagi, perempuanku.”,
“Slow but sure…you’ll make me in love with you. You just need a little bit of time. Prove it!”,
“Shhh…maybe we’ll talk about this later. Aku mulai kelelahan, Aubrey. Sedikit bicara mungkin akan membantu staminaku terjaga.”,
“Baiklah. Maaf, ya…”.
…………………………………………………………………………………………………………………..

“Aubrey? Are you okay? Nafasmu lambat sekali?”,
“Hhh…aku…hhh…tidak apa.”,
“Serius? Tubuhmu demam! Biar aku cari selimut lainnya atau apapun yang bisa menghangatkanmu…”,
“Hhh…no! Hhh…jangan per…hhh…nah tinggalkan aku…hhh…sendirian, Stein…ways! I’m so cold and freezing. Mataku…hhh…kunang-kunang. Tapi, I’m okay. Just…just…don’t ever let your hands aways from me…hhh…I’m begging you!”,
“Tapi, keadaanmu gawat, Aubrey! Aku…aku tidak bisa membiarkanmu mati.”,
“Hahaha…hhh…mati? Kalau begitu…hhh…sebelum mati, aku…hhh…punya…hhh…kata-kata ter…akhir…”,
“Aubrey! Jangan pernah bicara sembarangan! Aku tidak akan membiarkanmu mati disini! Tidak akan pernah! Dan kamu tidak akan bisa mati disini! Tidak akan bisa!”,
“Let me say something, Stein…hhh…ways! Jangan…hhh…jangan memotong…hhh…dulu!”,
“Tidak boleh! Kamu tidak akan mati dan tidak akan pernah ada kata-kata terakhir yang keluar dari mulutmu!”,
“Setidak…nya…hhh…biarkan aku…aku bicara, Ste…hhh…inways…hhh…”,
“Tapi, ini bukan kata-kata terakhir darimu, kan?”,
“Perhaps! Jus…just listen my words…hhh…I’m trying to fall in with you, and…and now, you’ll keep my words…I have the…hhh…same thing with you…I’m falling in love with you after you prove your words in the past…hhh…”,
“Thanks, tapi bukan ini yang ingin kudengar dari mulutmu, Aubrey. Aku ingin mendengar semangatmu untuk bertahan sampai bantuan datang.”,
“No, Stein…hhh…ways. Now, I’m…hhh…so tired and sleepy. Hhh…let me take my head…lied upon your shoulder…hhh…please.”,
“Tapi, kamu tidak boleh tidur! Kamu harus tetap bersuara…even hanya suara nafasmu saja yang terdengar. Aku mohon…”,
“I’ll do my best. Good…hhh…good…I don’t kno…hhh…know exactly…what time is it?”,
“There’s no shine and no darkness…maybe there’s no time here?”,
“You stopped it? Very funny…”.
………………………………………………………………………………………………………………......

Desir angin mulai terasa menusuk tulang-tulang Steinways dan membuatnya serasa mati membeku. Dia terus bertahan sementara Aubrey masih terpejam dan hanya nafasnya yang lambat yang terdengar di telinga Steinways. Tapi, setidaknya Steinways masih mendengar suara harapan dari mulut Aubrey. Matanya mulai kabur namun masih tetap awas. Kesadarannya mulai memudar, tapi masih terjaga. Hanya itu yang bisa dilakukan sampai bantuan yang mungkin saja tidak akan pernah ada datang seolah-olah mukjizat.

 DCN News memberitakan bahwa dua korban selamat ditemukan di dalam perpustakaan nasional Siberium. Akibat badai Doomstein yang menerjang seluruh wilayah dunia bagian utara hingga menyebabkan seluruh dunia bagian utara ditenggelamkan salju setebal 20 sampai puluhan meter, banyak kota hilang dari peradaban. Kedua korban diselamatkan oleh Tim SAR PBB dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Mereka berdua ditemukan dalam posisi berpelukan diantara lautan darah akibat kanibalisme yang terjadi di dalamnya selama satu bulan tersebut. Kondisi ini memicu semangat Tim SAR untuk menemukan lebih banyak lagi korban selamat di bawah tumpukan salju akibat badai Doomstein tersebut. (OW)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar