I grew up in this town, my poetry was born between the hill and the river, it took its voice from the rain, and like the timber, it steeped itself in the forests. -Pablo Neruda

Kamis, 23 Desember 2010

Prolog Undomiel

Menangis, aku menyesal.
Baru kali ini aku merasakan dunia yang penuh keharmonisan. Seorang elf, atau bisa kukatakan seperti peri, duduk berdampingan dengan seorang manusia. Layaknya dunia ini tidak banyak perbedaan, kamu juga melakukan hal yang sama. Nama Elf-mu, Elladan Maia. Aku selalu suka dengan namamu. Meskipun aku tidak tahu arti namamu, setidaknya, aku menyukai nada yang didengungkan ketika menyebutnya.
Pertama kali aku menemukanmu, dalam keadaan yang setengah tergesa-gesa. Kamu seperti mengejar sesuatu yang tampak tidak mungkin terkejar lagi. Kereta. Kamu mengejar sebuah kereta keberangkatan pukul 07.00 pagi. Kamu hampir menabrakku, namun menghindar sekelebat. Kamu menghindariku seolah-olah kamu memiliki kelembutan angin levanter yang membekukan -sangat cepat dan sekejap-. Aku malah menyaksikanmu benar-benar menghindariku dengan tarian indah ala Audrey Hepburn. Mengagumkan. Dan aku takjub. Sekejap, aku seperti merasakan bahwa aku menyaksikan dirimu tersenyum manis. Aku terkesima. Menyaksikan senyuman terindah di duniaku. Sejenak sampai sedetik kemudian, aku tidak sanggup mengalihkan pandanganku dari wajahnya. Dia tidak menoleh, tapi dia tampaknya memperlambat langkahnya. Kereta yang dikejarnya mungkin sudah terlalu jauh dijangkau, aku beranggapan demikian. Hebatnya, dia menoleh ke kiri dan kanan. Tidak ada yang memperhatikannya -tanpa sadar, akulah yang memerhatikannya-. Dia melompat anggun seperti sepotong bulu angsa yang mengayun indah di langit. Dia tampak menyamakan dirinya seperti tidak terbentur daya gravitasi. Konsep Newton tidak berdampak apapun padanya -dan aku setuju sekali begitu melihatnya-. Dan itulah, penemuanku pertama kali terhadap sosokmu, Elladan.
Semenjak itu, aku selalu berada di Stasiun Kereta Kota Penuh Kastil ini pukul 07.00 pagi, berharap terus menemukanmu tidak hanya sekali, tetapi dua, tiga, empat sampai berkali-kali. Aku pun selalu menemukanmu pada saat yang sama dengan penampilan yang berbeda-beda, akan tetapi gaya yang sama. Hari Senin, kamu mengenakan blus berenda warna putih. Hari Selasa, dengan cardigans coklat muda, dipadu jeans panjang. Rabu, kaus lengan panjang dipadu dengan rok yang cukup sopan. Kamis, sweater abu-abu bertuliskan 70'S. Jumat, aku bahkan menyaksikanmu mengenakan pakaian di hari Selasa. Sabtu dan Minggu, tidak jauh berbeda dengan penampilan di hari santai wanita-wanita lainnya. Yang selalu sama dari dirimu hanyalah rambutmu yang selalu tergerai memanjang hingga punggung bawah. Tidak diikat menjadi kuncir buntut kuda, atau digulung hingga terikat ke atas layaknya ikatan Buddha. Yang tidak pernah terlihat dari dirimu, Elladan, hanyalah kedua daun telingamu dan barisan gigimu. Aku tahu dan jelas sekali, kamu memang seorang elf dari Undomiel kawasan Pegunungan Ural. Dan aku tahu dan yakin sekali, kamu sebenarnya tidak ingin jika kamu terlihat sebagai layaknya elf, tetapi lebih manusiawi. Secara status sosialmu, kamu bangsa tertinggi hingga dianggap Quendi. Tapi, kamu melebur dengan manusia-manusia. Status sosial bukan lagi sesuatu yang berharga dan harus dipertahankan dalam kehidupanmu. Kamu memilih untuk tidak eksis bersama duniamu yang sebenarnya.
Tapi, kamu menjatuhkan pilihanmu pada seorang manusia berjenis yang disebut laki-laki. Namanya Agnar Gamaliel. Pria keturunan Anglo Saxon yang membuatmu memikirkan ulang konsep duniamu yang penuh dengan keabadian. Kamu seolah-olah ingin merasakan kematian yang sejujurnya tidak akan pernah kamu temui dalam hidupmu, kecuali kamu menghentikan jantungmu sendiri. Tapi, kamu akan melihat sebuah kematian dalam bentuk yang nyata dari sang manusia, setidaknya kamu bisa menyaksikan bentuk fisik dari kematian itu sendiri. Ayahmu, Eldorand, bahkan pernah menyaksikan kematian. Sakit dan menakutkan, katanya. Namun, kamu berani menghadapi anggapan seseorang yang lebih berpengalaman darimu itu dengan dada membusung menantang.
Aku hanya bisa tersenyum mengetahui segala hal tentangmu. Hal-hal yang sangat sensitif bagi seseorang yang termasuk ke dalam minoritas. Dan aku pun sama denganmu. Aku menemukan Undomiel lainnya di dalam hidupku yang lebih dulu ada di dunia manusia ini. Kamu dan aku seharusnya sama...meskipun aku merasakan perasaan yang berbeda antar sesama. Aku jatuh cinta pada Undomiel lainnya...
Dan namaku,Fingon Veneanar Undomiel. Aku masih seorang elf yang tidak biasa dan hanya terjebak dalam cinta yang bahkan tidak kunjung kuartikan sendiri.

Minggu, 19 Desember 2010

Priority

Setengah menit, diberikan waktu padamu, hai berandal.
-bukan waktu yang sebentar buat memutuskan mana sebuah prioritas-

Hebatnya, kamu masih bisa tertawa riang dengan semburat simpul melesung pipit tak mengakomodasi kesulitanmu memilih. Kamu juga masih bisa menoleh bebas ke kanan; ke kiri, seolah-olah hidupmu tak bermasalah atau dipenuhi beban.

Temanmu di pikiran dan hatimu bilang, "Sebenarnya hanya permasalahan prioritas yang untukmu sekarang!". Sepatutnya, kalau ada prioritas yang kamu fokuskan, pada itu pula, kamu seyogyanya berfokus.

Anehnya, kamu menggelengkan kepala. Merasa bahwa itu bukan dirimu. Kamu yang selama ini bersantai di tepi ujung kehidupan, mengartikan hidup adalah untaian kata-kata, memetik gitar tanpa nada mayor, dan menjadikan stigma orang terhadapmu adalah sebuah kesantaian dalam bentuk konkrit -memang kamulah itu-. Kamu sepakat pada dirimu sendiri, kamu enggan berubah. Fokus bukan keindahan. Mata memandang ke arah-arah tidak tentu dan cabang berkelok-kelok. Peduli setan ! Begitu selalu katamu.

Penolakan demi penolakan akhirnya menemui jalan buntu. Kamu sekarang mengetahui rasanya sendirian bukan ? Santainya kamu, ketidakfokusanmu, kebingunganmu seolah memakan umurmu. Kamu punya retorika yang seharusnya kamu pertahankan, tapi gagal karena kamu sendiri tidak memiliki argumen yang kuat untuk mempertahankannya. Untuk fokus pun, kamu harus memilih. Untuk memilih, kamu punya tiga prioritas, Untuk ketiga prioritas, kamu berhak melakukan apa saja -bukan berarti sewenang-wenang tanpa batasan seperti yang selalu kamu lakukan-. Untuk berhak melakukan apa saja, kamu perlu menemukan apa arti semua yang akan kamu lakukan itu dan pilah kembali yang sebaiknya digunakan.


Sekarang, apa lagi yang kamu tunggu, hai berandal ?

Uang ?

Cinta ?

Tuhan mengulurkan tangan-Nya ?

Ataukah kamu mau menunggu sampai semuanya berakhir konyol ?
Berakhir dengan kegagalan yang kamu sendiri tahu penyebabnya -tetapi, kamu malah berpura-pura tidak mengetahuinya-.


Hai, berandal ! Sekarang ada tiga fokus di hadapanmu. Prioritas manakah mereka ? Saranku hanya satu...


Fai momenti in momenti di altri !
Make a moment to be moments !

Kamis, 09 Desember 2010

Lago Morti

Kadang kita pernah bertanya demikian...kenapa harus ada kematian ?
Ini bukan soal konsep atau retorika saja; tapi, kenyataan bahwasanya mereka bertanya hal itu dengan wajah yang menengadah ke atas seolah bicara langsung pada Tuhan. Kenapa harus ada kematian jika sebenarnya kita ternyata harus pula dibuat hidup ? Bukannya sia-sia suatu penciptaan, kalau begitu ? Ibarat kata seperti ini. Kita membuat istana pasir dengan kesulitan yang meninggi, namun setelah dibangun, kita menghancurkannya begitu saja. [dengan perasaan kesal] LALU BUAT APA DICIPTAKAN KALAU UJUNG-UJUNGNYA DIMATIKAN ?

Mudah menganalogikan kematian manusia, sejujurnya.

Kematian bisa dianalogikan sebagai ranjang terakhir sebelum bangun dengan dunia yang hitam-putih. Analogi itu hanyalah contoh refleksi apa yang manusia sendiri bayangkan.

Tapi, percayalah bahwa analogi bukan sistem yang tepat untuk menamai 'kematian' dengan kematian.

Kita mungkin bisa meninjau secara siratan dari metode pemikiran Socrates atau Plato. Kematian bisa memiliki definisi mutlak; absolut; bukan relatif wacana saja; meskipun semuanya akan selalu berujung pada sebuah dinding berbatu bata setebal 30 centimeter -mentok. Setidaknya, kita sudah berusaha, bukan ?

Jadi, kenapa harus ada kematian ? [kita kembali pada topik yang sebenarnya]

Secara a priori, kematian diciptakan sebelum adanya kehidupan. Kematian adalah kelogisan yang tidak ada dan dianggap kosong. La mortalita e il vuoto. Kematian adalah kekosongan. Di tengah kematian itulah, kehidupan dimunculkan Tuhan sebagai bentuk suatu 'pertunjukan' kehebatan Yang Maha Hebat. Basi dan tidak logis apa yang dikehendaki-Nya; bahkan tujuan penciptaan-Nya itu hanyalah untuk kemudian kembali lagi pada-Nya. Prosesnya begini :

kematian --> kehidupan --> kematian --> kehidupan

Tidak ada yang istimewa dari proses tersebut. Tuhan sepertinya membawa kita pada suatu proses seleksi yang sebenarnya sederhana, tetapi karena otak memiliki syaraf-syaraf ke-sok tahu-an yang relatif banyak, proses itu menjadi berbelit. Oleh karena itu, kematian jarang sekali menjadi sebuah pemikiran yang kontekstual oleh manusia. Terbiasa hidup, jadi takut memikirkan kematian. [alasan ga masuk akal dari seorang laki-laki gendut di sebelah saya]

Lalu, pertanyaan sebelumnya akan terjawab...kenapa harus ada kematian ?

Menurut pemikiran yang baku pada konsep religio, kematian untuk memindahkan kita dari suatu kehidupan yang fana di dunia ini ke kehidupan di akhirat. Kalau bisa disimpulkan...
life for afterlife. Simpel, bukan ?
Tapi, bukan berarti dengan adanya jawaban tersebut belum memuaskan hasrat manusia buat mencari lebih banyak dan lebih mendalam -karena sudah menjadi hal yang lumrah bagi manusia yang tidak cepat puas.
Dan jika kita bertanya dengan awalan tanya, kenapa...hal itu merujuk pada suatu tujuan Tuhan menciptakan istilah yang malah kedengaran mengerikan, tapi memang nyata adanya, kematian. Kematian harus ada untuk memberikan gambaran bahwa 'pertunjukan' Tuhan belum selesai.
Altri spettacoli del Dio.
Karena Tuhan memiliki arena yang harus dipertunjukkan setelah mati...