I grew up in this town, my poetry was born between the hill and the river, it took its voice from the rain, and like the timber, it steeped itself in the forests. -Pablo Neruda

Senin, 16 Mei 2011

FURY

Fury
            Aku tahu kemarahanmu terletak di tenggorokan. Aku juga tahu, bagaimana emosimu meletup bagai buih belerang di gunung berkawah. Seperti ikhwal banteng dalam matador, kamu seperti merah dalam penglihatannya. Amukmu menjadi sebuah tanda bagiku; bahwa aku gagal membuatmu menjadi lebih baik; aku gagal mengartikan dirimu lebih dari sekedar sahabat; dan aku gagal menciptakan dunia yang lebih sempurna denganmu. Mungkin kita akan menyebrang ke putih sendiri-sendiri, eh…bukan ! Yang benar adalah aku yang menyebrang sendiri ke putih. Kamu tidak. Kamu cantik. Kamu anggun. Dan kamu begitu jumawa dengannya. Kamu mudah mencari boneka lainnya yang bisa menjadi sasaran segala kemarahanmu; yang lebih sabar, mungkin. Tapi, aku ? Tak lebih sekedar orang beruntung yang pernah duduk disandingkan denganmu; menjadi pembicaraan miris orang-orang; dan menggantungkan harapan setinggi langit bersamamu dari jendela kamar. Ya…aku beruntung pernah bersamamu. Dan keberuntungan itu tidak akan kembali lagi bersamaku; karena kamu lebih mengutamakan otak mendidih di kepalamu daripada logika dan masa depan yang telah kita rencanakan bersama-sama ditambah lagi, aku yang salah dalam hubungan ini. Aku memang beruntung…sangat beruntung…dan tidak akan pernah beruntung seperti itu lagi…dan…beruntung adalah hal yang mustahil lagi buatku.

             Hmm…dua tahun belakangan ini, aku berada di dalam putih. Aku memaksakan diri untuk terus berada di roda putih yang telah kugerakkan. Lelah; pasti dan mutlak adanya. Aku menggerakkan roda putih sendirian, sementara keempat belas temanku sudah menggerakkan roda hitam bersama-sama peraduannya. Aku lelah melihat mereka tertawa dan bergaung bersama-sama. Bukan iri melihat mereka bersama, tetapi lebih ke arah lelah menyaksikan wajah-wajah setan mereka yang seolah-olah mengatakan, “Dude, where’s your dumb ?”. Yaa, mereka mengatakan kamu seperti ‘dumb’; bodoh; dungu atau apapun sebutan yang mereka nyatakan padamu. Eetss, tapi, aku mulai berpikir, jika pertanyaan itu sebenarnya ditujukan untukku sendiri. Where’s your dumb equals “Dasar jomblo !”.

Seseorang pernah memberi pernyataan sebagai berikut :
 “Sebenarnya kamu mudah mendapatkan perempuan selain Autumn, tapi sikapmu itu yang membuat perempuan lain mungkin melihat kamu seperti orang membingungkan yang bahkan membuat mereka berpikir tidak untukmu.”

Sikap yang mana ?; aku selalu mempertanyakan pernyataan itu.
 “Mengagung-agungkan nama Autumn seperti kamu mengagungkan nama Tuhan di otakmu dan kamu terlalu baik pada semua perempuan.”

Jadi, apakah terlalu baik itu salah ? Apakah terlalu mencintai Autumn juga salah ? Toh, aku memang selalu beranggapan, Autumn adalah yang terbaik dari segala yang baik. Dan bahkan, aku berpikiran untuk berpindah dan menggerakkan roda hitam lagi pun tidak pernah –setelah Autumn. Walaupun lelah di roda putih, aku akan terus mencoba memutarnya sampai mungkin nafas ini menjelma menjadi sebuah kehampaan; sampai nafas ini gagal memberikan nyawa untukku lagi. Aku akan terus sendirian dengan emosi labil dan kemarahan yang ditularkan Autumn padaku. Aku akan selalu seperti Autumn…bahkan bisa lebih dari sekedar seperti Autumn. Bahkan bisa lebih melelahkan daripada menari di atas bara api dengan kaki yang terbakar aroma hangus dan daging yang menggosong. Atau lebih menyakitkan daripada menyilet nadi sendiri. Atau lebih mencengangkan ketimbang menyaksikan Matthew Bellamy memainkan gitar seolah bukan dipetik, melainkan digesek.

            Aku pernah melakukan hal yang bahkan tidak kuduga. Aku mengecap asam emosiku sendiri. Dan hal itu menjadikanku sebagai seorang penyesal. Aku tahu kesabaranku mencapai batas klimaks yang tidak bisa ditangguhkan lagi. Tapi, tidak seharusnya aku melakukannya. Aku mengenal Autumn lebih dari sekedar aku mengenal diriku sendiri. Autumn selalu memberikan satu pernyataan bahwa di dunia ini yang salah adalah aku. Autumn bahkan men-stigma-kan diriku sebagai ladang kesalahan di luar sana. Kemarahannya mencapai puncak tertinggi Kilimanjaro –means, that’s not the summit of her furious, malam itu. Aku duduk di kursi putar di hadapan Petrof. Menyaksikan wajah kemarahannya yang tidak lebih indah daripada taman edelweiss; tapi lebih menakjubkan dengan nuansa dingin namanya. Autumn memandangiku seperti aku ini patung kekesalannya. Aku hanya diam; tidak berkata; tidak mengomentarinya; atau bahkan balik menyalahkannya. Aku masih menggigil menyaksikan puncak kemarahannya. Salah seperti tersematkan di dahiku. Salah seperti menyangkut di mataku dan mengayun-ayun penuh ledekan. Salah seperti menangkap kharismaku sebagai seorang laki-laki. Aku salah dan kalah. Dan ketika dia memberikan suatu pernyataan, “Kamu kenapa diam ? Kamu selalu, yaa…baik kalau ada inginnya saja !”.
Mendengarnya, aku seperti dirinya ! Aku menjadi seorang Autumn saat itu. Otakku yang sudah mendidih semenjak Autumn berhadap-hadapan denganku; kemarahan yang sudah mencapai pangkal kerongkongan; emosi yang telah mengurai di setiap pembuluh nadiku; dan kelima penginderaanku yang sudah dikaburkan Azazil. Semuanya menyambung seperti ketiba-tibaan. Otak mendidihku buyar hingga mencampuri emosi yang lebih dulu mengurai di setiap pembuluh nadiku; mencapai juga kemarahan di kerongkonganku sekaligus kabur menjadi penggerak oleh Azazil. Aku berteriak di wajahnya dan melayangkan sebuah tamparan keras di pipi kanannya. Hanya nol koma sekian detik kemudian, aku baru menyadarinya. Autumn terdiam dengan pandangan tidak percaya. Aku juga terdiam dengan kesadaran tingkat sembilan puluh sembilan –tersadar benar-benar bahwa aku sudah melakukan hal yang tabu. Aku pun harus kembali pada pernyataan awalku.

Aku tahu kemarahanmu terletak di tenggorokan. Aku juga tahu, bagaimana emosimu meletup bagai buih belerang di gunung berkawah. Seperti ikhwal banteng dalam matador, kamu seperti merah dalam penglihatannya. Amukmu menjadi sebuah tanda bagiku; bahwa aku gagal membuatmu menjadi lebih baik; aku gagal mengartikan dirimu lebih dari sekedar sahabat; dan aku gagal menciptakan dunia yang lebih sempurna denganmu.

Tamparanku mendarat di pipi kanan dan membuatnya terdiam saat itu juga. Pada saat itulah, air mata mengalir seperti air mata zam-zam yang secara tiba-tiba keluar di bawah kaki Ismail yang menghentak-hentak. Aku anggap air mata Autumn seperti mukjizat yang justru membuatku tersadar. Aku menunduk menyesal dan tanganku yang masih terangkat; terkulai lemas ke arah gravitasi menariknya. Aku memalingkan wajahku; takut bertatapan dengan Autumn. Dan tiba-tiba lagi, suatu ketiba-tibaan merangsek di mulutku.
“Sebenarnya aku berharap malam ini kamu bisa tersenyum di dua tahun kita, bukan seperti ini. Bukan seperti hari-hari biasanya, yang kamu menjadikanku seperti area kekesalanmu. Aku lelah. Bisakah kita kembali seperti biasa ? Tidak ada apa-apa dan hubungan seperti ini lagi. Maaf karena aku telah menamparmu.”
Aku pun menyadarinya saat ini, bahwa pernyataan ‘dumb’; bodoh; dungu memang sebenarnya ditujukan padaku. Akulah si dungu yang menguraikan emosinya dalam bentuk gerakan. Sial. Aku memang seperti apa yang mereka katakan. Detik itu, Autumn hanya bisa menjawab dengan tangisan. Kedua tangannya halus menutupi wajahnya dan membiarkan air mata bersimbah di telapaknya. Autumn sadar bahwasanya dia baru pertama kali mengalaminya. Autumn kemudian menjawab semuanya dengan tatapan nanar ke mataku. Dia seolah bertanya, “Kamu serius ?”. Aku hanya bisa menjawab dengan pandangan mata balik, “Aku serius, meskipun sebenarnya tidak ingin !”.

Jawaban Autumn bermuara pada kesimpulan.
“Maaf kalau aku selalu menjadikanmu pelampiasan amarahku. Aku hidup dalam dunia yang panas dan penuh kekecewaan. Aku butuh pendamping sepertimu; seperti dirimu, yang membuatku selalu tersenyum di saat sedihku; seperti dirimu, yang bersabar menyaksikan seluruh sikapku selama ini; seperti dirimu,  yang memberikan semangat pagi, siang dan malam padaku; seperti dirimu, yang selalu memelukku dengan suasana kehangatan seorang kekasih. But, surely…if you ask me to do something, even it’s hard for me to do, I’ll do it ! Karena aku tahu, kamu akan melakukan hal yang sama jika aku yang memintanya –dan kamu telah banyak melakukan sesuatu itu padaku. Sekarang giliran aku yang menunjukkan padamu bahwa aku serius untuk bersamamu.”

Jawaban dan kesimpulan yang bijak. Dibumbui dengan pelukan hangat dari Autumn, aku kembali menyadari bahwa aku memasuki gerbang hidup baru setelah dua tahun ketergantunganku padanya akan menguap begitu saja. Uap itu akan menjadi pekerjaan rumah terakhirku di dunia ini, karena toh, aku tidak inginkan lagi suatu hubungan yang mengatakan bahwa keterikatan adalah kewajiban.

Akhirnya, aku bisa menyimpulkan sesuatu yang lebih jauh bahwa semua hubunganku dengan Autumn berawal di hadapan grand piano usang milikku dan berakhir disana pula. Petrof menjadi saksi bisu bahwa aku dan Autumn memang berkesimpulan di awal dan di akhir, kami berdua saling mencintai, walaupun aku sendiri tidak tahu, apa definisi mutlak cinta.

-TAMAT-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar