I grew up in this town, my poetry was born between the hill and the river, it took its voice from the rain, and like the timber, it steeped itself in the forests. -Pablo Neruda

Sabtu, 26 Februari 2011

Suatu Pagi Buta di Hari Kiamat

Alam bernyanyikan angin ribut kemarin sore,
Kemarin juga mendung, awan suram dan kelam, menutupi cahaya matahari dan panasnya.
Lihatlah, pohon-pohon tercabut dari pangkalnya, burung-burung kehilangan aerodinamikanya,
Menghindar adalah hal yang mustahil detik itu.
Yang dilakukan hanyalah bersembunyi...
Keluar dari tempat persembunyian adalah menjadikan diri sebagai sesajian amuknya.
Tuhan...inikah caramu mengakhiri kehidupan?
Tidak adakah cara yang lebih halus daripada ini?
Entah kapan mulainya,
gunung-gunung seolah-olah melepaskan kemurkaannya,
tanah ibarat tiang yang lepas dari penyangganya,
langit tampak seperti gedung yang akan runtuh,
bintang dan bulan? Jangan ditanya lagi...detik kedelapan belas di jam 2 pagi buta ini, jarak mereka hanya satu inchi dari kepalamu.
Matahari? Belum kelihatan di timur, tapi dia muncul di barat!
Sial! Ini jam 2 pagi! Matahari mana yang muncul di tempat ini?
Cahayanya bukan lagi oranye atau kuning keemasan, tapi hijau perak!
Ini jam 2 pagi...pagi buta...aku sendiri tidak sanggup membuka kedua kelopak mataku.
Cahaya matahari ini terlalu hijau dan aku takkan sanggup menahan sinarnya itu.
Yang kuingat saat itu, inikah kiamat dunia?

Pagi buta...jam 2 lewat 25 menit 13 detik tanggal 20 Desember 2017...
-Pendakwah Terakhir, Desree Agrbev

Tidak ada komentar:

Posting Komentar