I grew up in this town, my poetry was born between the hill and the river, it took its voice from the rain, and like the timber, it steeped itself in the forests. -Pablo Neruda

Kamis, 09 Desember 2010

Lago Morti

Kadang kita pernah bertanya demikian...kenapa harus ada kematian ?
Ini bukan soal konsep atau retorika saja; tapi, kenyataan bahwasanya mereka bertanya hal itu dengan wajah yang menengadah ke atas seolah bicara langsung pada Tuhan. Kenapa harus ada kematian jika sebenarnya kita ternyata harus pula dibuat hidup ? Bukannya sia-sia suatu penciptaan, kalau begitu ? Ibarat kata seperti ini. Kita membuat istana pasir dengan kesulitan yang meninggi, namun setelah dibangun, kita menghancurkannya begitu saja. [dengan perasaan kesal] LALU BUAT APA DICIPTAKAN KALAU UJUNG-UJUNGNYA DIMATIKAN ?

Mudah menganalogikan kematian manusia, sejujurnya.

Kematian bisa dianalogikan sebagai ranjang terakhir sebelum bangun dengan dunia yang hitam-putih. Analogi itu hanyalah contoh refleksi apa yang manusia sendiri bayangkan.

Tapi, percayalah bahwa analogi bukan sistem yang tepat untuk menamai 'kematian' dengan kematian.

Kita mungkin bisa meninjau secara siratan dari metode pemikiran Socrates atau Plato. Kematian bisa memiliki definisi mutlak; absolut; bukan relatif wacana saja; meskipun semuanya akan selalu berujung pada sebuah dinding berbatu bata setebal 30 centimeter -mentok. Setidaknya, kita sudah berusaha, bukan ?

Jadi, kenapa harus ada kematian ? [kita kembali pada topik yang sebenarnya]

Secara a priori, kematian diciptakan sebelum adanya kehidupan. Kematian adalah kelogisan yang tidak ada dan dianggap kosong. La mortalita e il vuoto. Kematian adalah kekosongan. Di tengah kematian itulah, kehidupan dimunculkan Tuhan sebagai bentuk suatu 'pertunjukan' kehebatan Yang Maha Hebat. Basi dan tidak logis apa yang dikehendaki-Nya; bahkan tujuan penciptaan-Nya itu hanyalah untuk kemudian kembali lagi pada-Nya. Prosesnya begini :

kematian --> kehidupan --> kematian --> kehidupan

Tidak ada yang istimewa dari proses tersebut. Tuhan sepertinya membawa kita pada suatu proses seleksi yang sebenarnya sederhana, tetapi karena otak memiliki syaraf-syaraf ke-sok tahu-an yang relatif banyak, proses itu menjadi berbelit. Oleh karena itu, kematian jarang sekali menjadi sebuah pemikiran yang kontekstual oleh manusia. Terbiasa hidup, jadi takut memikirkan kematian. [alasan ga masuk akal dari seorang laki-laki gendut di sebelah saya]

Lalu, pertanyaan sebelumnya akan terjawab...kenapa harus ada kematian ?

Menurut pemikiran yang baku pada konsep religio, kematian untuk memindahkan kita dari suatu kehidupan yang fana di dunia ini ke kehidupan di akhirat. Kalau bisa disimpulkan...
life for afterlife. Simpel, bukan ?
Tapi, bukan berarti dengan adanya jawaban tersebut belum memuaskan hasrat manusia buat mencari lebih banyak dan lebih mendalam -karena sudah menjadi hal yang lumrah bagi manusia yang tidak cepat puas.
Dan jika kita bertanya dengan awalan tanya, kenapa...hal itu merujuk pada suatu tujuan Tuhan menciptakan istilah yang malah kedengaran mengerikan, tapi memang nyata adanya, kematian. Kematian harus ada untuk memberikan gambaran bahwa 'pertunjukan' Tuhan belum selesai.
Altri spettacoli del Dio.
Karena Tuhan memiliki arena yang harus dipertunjukkan setelah mati...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar